Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 14 Juni 2025
Pemimpin sejati itu selalu dipimpin. Ini adalah sebuah aforisma tajam dari Carl Jung (1875-1961) yang merobek tirai ilusi kekuasaan. Ini bukan paradoks semata, melainkan sebuah “kebenaran filosofis” yang mendalam tentang hakikat kepemimpinan. Di tengah gemuruh sorak-sorai, kemegahan kursi kekuasaan, dan kilau mahkota pemimpin, kita sering kali mengagumi sosok pemimpin sebagai pribadi yang sepenuhnya berdiri tegap sendiri, penguasa, penentu arah tanpa cela. Namun, Jung mengajak kita menembus permukaan itu, untuk menyadari bahwa di balik setiap keputusan besar seorang pemimpin, setiap arahan strategis, ada “kekuatan-kekuatan tak terlihat” yang membimbing, sebuah “kompas internal” yang senantiasa menuntun seorang pemimpin. Ini adalah tentang “drama abadi antara godaan ego di permukaan dan kepekaan terhadap tuntunan terdalam”, di mana kekuatan sejati justru terletak pada kemampuan untuk mendengarkan, belajar, dan terus-menerus mengijinkan dipandu dari kedalaman jiwa.
Pernyataan Jung ini berakar pada konsep “kesadaran diri” dan “pencarian makna” (Jung, 1968). Seorang pemimpin sejati, menurut Jung, bukanlah individu yang hanya memproyeksikan kekuatan ke luar, melainkan seseorang yang secara konstan “menyelami kedalaman jiwanya sendiri”, memahami bayang-bayang dan arketipe yang membentuk dirinya. Mereka “dipimpin oleh proses individuasi”, yakni dorongan bawaan menuju keseluruhan dan aktualisasi diri. Tanpa pemahaman mendalam tentang diri sendiri, seorang pemimpin rentan menjadi boneka dari “kompleks-kompleks bawah sadar” atau “harapan eksternal”. Oleh karena itu, kepemimpinan sejati berawal dari “kepemimpinan atas diri sendiri”, yang mensyaratkan “kesediaan untuk dipandu oleh kearifan batin”.
Selain itu, frasa “selalu dipimpin” juga merujuk pada “keterbukaan terhadap umpan balik” dan “pembelajaran berkelanjutan” (Senge, 1990). Seorang pemimpin efektif tidaklah statis, melainkan terus-menerus “dipandu oleh realitas yang berubah”, oleh “suara-suara dari bawah”, oleh “tantangan yang muncul”, dan oleh “data serta informasi baru”. Mereka tidak alergi terhadap kritik, melainkan justru “mencari masukan sebagai kompas” untuk navigasi. Dalam konteks organisasi modern, ini berarti bahwa pemimpin harus “mampu menjadi pembelajar seumur hidup”, beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis, dan “membiarkan diri mereka dipengaruhi dan diinspirasi” oleh perkembangan di sekitar mereka (Kotter, 2012). Kepemimpinan transformasional, misalnya, menekankan kemampuan pemimpin untuk “menginspirasi dan diinspirasi” oleh pengikutnya.
Interpretasi lain dari pernyataan Jung adalah bahwa pemimpin sejati “dipandu oleh tujuan yang lebih besar” dari sekadar kepentingan pribadi (Northouse, 2016). Mereka “melayani sebuah visi”, sebuah “nilai yang melampaui ego”. Baik itu prinsip moral, misi organisasi, atau kesejahteraan kolektif, tujuan yang lebih besar ini menjadi “kekuatan penuntun” yang mengarahkan setiap langkah dan keputusan. Dalam hal ini, pemimpin tidak sekadar memimpin orang lain, tetapi “dipimpin oleh panggilan batin” atau “komitmen terhadap sebuah cita-cita”. Konsep “kepemimpinan etis” dan “kepemimpinan melayani” (servant leadership) sangat relevan di sini, di mana pemimpin secara fundamental “dipandu oleh keinginan untuk melayani” (Greenleaf, 1977), bukan menuntut untuk dilayani.
Dengan demikian, jelas bahwa “pemimpin sejati adalah individu yang rendah hati”, yang mengakui bahwa “kekuatan mereka berasal dari sumber yang lebih besar” dari diri mereka sendiri. Baik itu kearifan batin, pembelajaran dari lingkungan, atau panggilan terhadap tujuan mulia, mereka senantiasa “terbuka untuk dibimbing”. Ini adalah sebuah “paradigma kepemimpinan” yang menolak narsisme dan otokrasi, sebaliknya merayakan “kerentanan, kebijaksanaan, dan koneksi”. Mengembangkan pemimpin yang mampu “dipimpin” adalah kunci untuk “menciptakan organisasi dan masyarakat yang lebih adaptif, etis, dan berkelanjutan”.
Di tengah gelombang lautan kehidupan yang tak menentu, kalimat Jung ini adalah “sebuah mercusuar bagi setiap jiwa” yang memikul amanah kepemimpinan. Ia adalah “bisikan kearifan” yang mengingatkan bahwa mahkota terberat bukanlah yang terlihat, melainkan yang tersembunyi di dalam diri—sebuah “kompas batin” yang senantiasa menuntut kejujuran dan kerendahan hati. Sang pemimpin sejati adalah “pengembara abadi”, yang tak pernah berhenti belajar, tak pernah berhenti mendengarkan, dan tak pernah berhenti mengijinkan “dipandu oleh cahaya kebijaksanaan” yang datang dari dalam maupun dari semesta. Sehingga setiap langkahnya adalah “jejak pencerahan” bagi dirinya dan dunia.
Referensi:
Jung, C. G. (1968). Man and his symbols. Dell Publishing.
Kotter, J. P. (2012). Leading change. Harvard Business Review Press.
Greenleaf, R. K. (1977). Servant leadership: A journey into the nature of legitimate power and greatness. Paulist Press.1
Northouse, P. G. (2016). Leadership: Theory and practice (7th ed.). SAGE Publications.
Senge, P. M. (1990). The fifth discipline: The art & practice of the learning organization. Doubleday.
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header