Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 24 Juni 2025.
Perang, dalam segala bentuknya, adalah salah satu fenomena paling kompleks dan merusak dalam sejarah manusia. Perang bukanlah senjata melawan senjata, bukanlah rudal melawan rudal belaka, tapi pada dasarnya manusia melawan manusia. Di balik strategi militer, perhitungan geopolitik, dan gemuruh senjata, terdapat dimensi yang sering terabaikan namun fundamental: psikologi perang. Ini adalah studi tentang bagaimana konflik bersenjata memengaruhi pikiran dan perilaku individu, kelompok, dan bahkan seluruh masyarakat—baik di garis depan maupun di garis belakang, sebelum, selama, dan setelah pertempuran. Memahami psikologi perang bukan hanya penting untuk merancang strategi militer, tetapi juga krusial untuk memahami dampaknya yang mendalam dan berjangka panjang pada jiwa manusia.
Sebelum peluru pertama ditembakkan, perang psikologis sudah dimulai. Pemerintah dan pemimpin berusaha "memobilisasi warga negara" mereka dengan narasi yang kuat. Upaya ini melibatkan demonisasi musuh, di mana lawan digambarkan sebagai entitas yang tidak manusiawi, jahat, atau ancaman eksistensial, untuk mereduksi hambatan moral dalam membunuh. Di sisi lain, terjadi glorifikasi diri dan tujuan, yang menekankan kebenaran perjuangan sendiri, keberanian para prajurit, dan janji kemenangan atau masa depan yang lebih baik. Bersamaan dengan itu, panggilan patriotisme dan identitas kelompok dibangkitkan, memicu rasa cinta tanah air, kesetiaan pada kelompok, atau identitas agama/etnis untuk menggalang persatuan dan pengorbanan (Bandura, 1999). Propaganda menjadi alat utama dalam membentuk persepsi, memicu emosi, dan menguatkan kehendak untuk bertempur, baik di kalangan prajurit maupun warga sipil (Jowett & O'Donnell, 1992).
Di garis depan, psikologi prajurit menghadapi ujian ekstrem. Situasi tempur dipenuhi dengan "stresor yang luar biasa": ancaman kematian yang konstan, kekerasan, kehilangan rekan, kelelahan fisik dan mental. Respons fisiologis dan psikologis terhadap stres ini sangat beragam, mulai dari respons fight, flight, freeze yang otomatis dipicu oleh otak untuk bertahan hidup. Prajurit mungkin juga mengalami disonansi kognitif, yaitu konflik batin antara nilai-nilai moral mereka (tidak membunuh) dan tuntutan tugas (membunuh musuh). Selain itu, kecerdasan emosional di bawah tekanan—kemampuan untuk tetap tenang, berpikir jernih, dan membuat keputusan di tengah kekacauan—adalah keterampilan penting yang dilatih dan diuji. Sayangnya, paparan trauma tempur seringkali berujung pada kondisi seperti Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD), depresi, atau kecemasan, yang dapat bertahan lama setelah perang berakhir (APA, 2013). Namun, ada pula fenomena "pertumbuhan pasca-trauma" (post-traumatic growth), di mana individu menemukan kekuatan, ketahanan, atau makna baru dari pengalaman sulit mereka.
Perang tidak hanya memengaruhi militer, tetapi juga warga sipil yang terjebak di dalamnya. Mereka mengalami "ketakutan akan keselamatan, kehilangan orang terkasih, kehancuran rumah dan komunitas", serta ketidakpastian masa depan. Tingkat stres kronis, kecemasan, dan depresi seringkali melonjak di antara populasi yang terkena dampak konflik. Namun, psikologi warga sipil juga menunjukkan "ketahanan yang luar biasa"—kemampuan untuk beradaptasi, membangun kembali, dan bahkan menunjukkan resistensi kolektif melalui berbagai bentuk perlawanan non-kekerasan atau dukungan terhadap upaya perang (Zimbardo, 2007). Solidaritas sosial, dukungan komunitas, dan keyakinan akan tujuan dapat menjadi penyangga psikologis yang kuat.
Salah satu aspek paling gelap dari psikologi perang adalah dehumanisasi. Dengan menggambarkan musuh sebagai "kurang dari manusia" atau "hewan", batasan moral untuk melakukan kekejaman menjadi kabur (Haslam, 2006). Hal ini memfasilitasi terjadinya kejahatan perang, penyiksaan, dan kekerasan sistematis. Faktor-faktor seperti "otoritas, tekanan kelompok, dan anonimitas" juga dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi mereka (Milgram, 1974; Zimbardo, 1971). Memahami mekanisme psikologis ini penting untuk mencegah kekejaman dan mempromosikan rekonsiliasi.
Setelah perang usai, tantangan psikologis tidak serta-merta berakhir. Masyarakat harus bergulat dengan "trauma kolektif", memori pahit akan kekerasan, dan perpecahan sosial. Psikologi pasca-konflik berfokus pada penyembuhan trauma individual dan kolektif melalui terapi, dukungan komunitas, dan ritual peringatan. Ini juga mencakup keadilan transisional, yaitu menangani kejahatan masa lalu melalui pengadilan, komisi kebenaran, atau program amnesti. Yang tak kalah penting adalah rekonsiliasi dan pembangunan kembali kepercayaan, yaitu membangun jembatan antar kelompok yang dulunya bermusuhan, mempromosikan empati, dan menciptakan narasi bersama untuk masa depan yang damai (Lederach, 1997). Proses ini panjang dan rumit, membutuhkan pemahaman mendalam tentang dinamika psikologis yang kompleks.
Psikologi perang adalah lensa krusial untuk memahami dinamika konflik bersenjata dari sudut pandang manusia. Dari upaya memotivasi dan memobilisasi melalui propaganda, hingga trauma mendalam dan adaptasi di medan tempur, serta dampak pada warga sipil dan tantangan pasca-konflik, setiap aspek perang memiliki dimensi psikologis yang kuat. Dengan menyelami pikiran di tengah konflik, kita tidak hanya dapat memahami mengapa manusia berperang, tetapi juga bagaimana kita bisa menyembuhkan luka-luka perang dan membangun jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan.
Perang bukanlah sekadar deretan angka korban atau peta wilayah yang berubah. Ia adalah "badai yang menggoncang labirin jiwa manusia", meninggalkan jejak yang dalam dan seringkali tak terlihat. Kita bicara tentang retakan pada kepercayaan, bayangan trauma yang menghantui mimpi, dan perubahan fundamental pada cara individu memandang dunia. Mempelajari psikologi perang adalah upaya untuk "mendengarkan bisikan-bisikan ketakutan, keberanian, kebencian, dan harapan" yang beresonansi di dalam diri mereka yang terlibat. Ini adalah pengingat bahwa di balik semua hiruk pikuk, harga perang yang sesungguhnya dibayar bukan hanya dengan darah, tetapi dengan "fragmen-fragmen jiwa" yang harus dihimpun kembali dengan sabar dan empati, demi menemukan kembali kemanusiaan kita bersama.
Referensi:
• American Psychiatric Association (APA). (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). American Psychiatric Publishing.
• Bandura, A. (1999). Moral disengagement in the perpetration of inhumanities. Personality and Social Psychology Review, 3(3), 193–209.
• Haslam, N. (2006). Dehumanization: An integrative review. Personality and Social Psychology Review, 10(3), 252–264.
• Jowett, G. S., & O'Donnell, V. (1992). Propaganda and Persuasion (2nd ed.). SAGE Publications.
• Lederach, J. P. (1997). Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. United States Institute of Peace Press.
• Milgram, S. (1974). Obedience to Authority: An Experimental View. Harper & Row.
• Zimbardo, P. G. (1971). The Stanford Prison Experiment.
• Zimbardo, P. G. (2007). The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil. Random House.
__________________________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header