Breaking News

POSITIVE NEGATIVITY VS. NEGATIVE POSITIVITY


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma, Depok, 24 Juni 2025
Di tengah hingar-bingar tuntutan kebahagiaan dan optimisme yang tak pernah padam, seringkali kita lupa bahwa spektrum emosi manusia adalah “lukisan bergelombang” yang kaya warna. Ada kalanya, “negativitas adalah mercusuar” yang menerangi jalan menuju kebenaran dan pertumbuhan, sebuah “positive negativity” yang jujur dan membangun. Namun, tak jarang pula, senyum palsu dan afirmasi kosong menjelma menjadi “kabut beracun”, sebuah “negative positivity” yang menyesatkan, merampas hak kita untuk menggunakan perasaan, berduka, dan berproses. Di persimpangan ini, kita dihadapkan pada sebuah paradoks: apakah kita akan jujur pada bayangan diri, ataukah kita akan memaksakan cahaya yang justru membutakan?

Konsep "Positive Negativity" mengacu pada gagasan bahwa "mengalami dan mengakui emosi negatif dapat menjadi konstruktif" (Schneider et al., 2013). Ini adalah pengakuan bahwa "kesedihan, kemarahan, atau kecemasan memiliki fungsi adaptif" (Gross, 1998); mereka dapat menjadi sinyal adanya masalah yang perlu diatasi, atau pendorong perubahan. Dalam konteks psikologi, "strategi regulasi emosi yang sehat" melibatkan "menerima dan memproses emosi negatif" daripada menekan atau menghindarinya (Hayes et al., 1999). Berbeda dengan pandangan umum, negativitas semacam ini "tidak menghambat, justru memicu introspeksi" dan "penyesuaian perilaku" (Carver & Scheier, 2000).

Sebaliknya, "Negative Positivity" atau yang juga sering disebut sebagai "positivitas toksik" (toxic positivity) adalah "pemaksaan optimisme yang tidak realistis dan penolakan emosi negatif" (Quintero, 2021). Ini termanifestasi dalam kalimat seperti "lihat sisi baiknya saja" atau "jangan sedih, harus bahagia", yang mengabaikan penderitaan nyata seseorang. Dalam psikologi, "penekanan emosi" telah terbukti berkaitan dengan "peningkatan stres, kecemasan, dan depresi" (Gross & Levenson, 1997). Budaya ini menekan individu untuk "memalsukan kebahagiaan" (Hochschild, 1983) dan menciptakan "diskoneksi antara perasaan internal dan ekspresi eksternal".

Dampak dari kedua dinamika ini terhadap kesehatan mental dan relasi sangat signifikan. Positive Negativity mendorong "kerentanan otentik" (Brown, 2012), yang memungkinkan "koneksi interpersonal yang lebih dalam" dan "dukungan sosial yang tulus". Dengan mengakui kesulitan, individu dapat "mencari bantuan yang diperlukan" (Corrigan et al., 2014) dan membangun resiliensi. Sebaliknya, Negative Positivity menciptakan "jarak emosional" dan "isolasi sosial", karena individu merasa "tidak aman untuk berbagi perasaan asli mereka" (Crocker & Wolfe, 2001). Ini dapat memicu "perasaan malu dan menyalahkan diri sendiri" ketika seseorang tidak bisa memenuhi standar kebahagiaan yang dipaksakan.

Fenomena ini juga memiliki akar filosofis. Positive Negativity selaras dengan pemikiran eksistensialis yang menekankan “penerimaan atas penderitaan dan absurditas hidup” sebagai bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia (Camus, 1942/1955; Frankl, 1946). Melalui "pengalaman yang sulit", individu dapat menemukan "makna dan pertumbuhan" (Tedeschi & Calhoun, 1996), sebuah konsep yang dikenal sebagai post-traumatic growth. Di sisi lain, Negative Positivity mirip dengan "penolakan realitas" atau "ilusi positif" yang berlebihan (Taylor & Brown, 1988), yang meskipun kadang memberikan kenyamanan jangka pendek, dapat "menghalangi pengembangan diri" dan "pemecahan masalah yang efektif" dalam jangka panjang.

Pada akhirnya, kehidupan adalah “tarian abadi antara terang dan gelap”, antara kegembiraan dan kepedihan. Positive Negativity adalah keberanian untuk menatap bayangan diri, mengakui setiap kerutan dan air mata, dan menemukan kebijaksanaan di dalamnya. Ia adalah pengakuan bahwa “pertumbuhan sejati” seringkali lahir dari "kedalaman penderitaan yang diproses dengan jujur". Sementara itu, Negative Positivity adalah topeng yang membebani, janji kebahagiaan kosong yang justru menenggelamkan kita dalam kehampaan, “sebuah penjara berlapis emas”. Pilihan ada di tangan kita: untuk berlayar dalam badai dengan integritas emosional, atau memaksakan ketenangan palsu yang justru akan menenggelamkan kita. Hanya dengan merangkul kedua sisi spektrum emosi, kita dapat mencapai “keseimbangan yang otentik” dan menjalani hidup dengan keberanian dan kebijaksanaan sejati.

Referensi:
• Brown, B. (2012). Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead. Gotham Books.1
• Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus and other essays (J. O’Brien, Trans.). Alfred A. Knopf. (Original work published 1942)
• Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2000). On the self-regulation of behavior. Cambridge University Press.
• Corrigan, P. W., Druss, B. G., & Goldman, H. H. (2014). Mental health stigma and discrimination: Current status and future directions. Annual Review of Clinical Psychology, 10, 461–487.
• Crocker, J., & Wolfe, C. (2001). Contingencies of self-worth. Psychological Review, 108(3), 593–623.
• Frankl, V. E. (1946). Man's search for meaning. Beacon Press.
• Gross, J. J. (1998). The emotional dynamics of emotion regulation. Emotion, 12(4), 875–885.
• Gross, J. J., & Levenson, R. W. (1997). Hiding feelings: The acute effects of emotional suppression. Journal of Personality and Social Psychology, 72(5), 992–1005.
• Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (1999). Acceptance and commitment therapy: An experiential approach to behavior change. Guilford Press.2
• Hochschild, A. R. (1983). The managed heart: Commercialization of human feeling. University of California Press.
• Quintero, C. (2021). Toxic positivity: The hidden dangers of forced optimism. TarcherPerigee.
• Schneider, S. L., Salamon, A., & Kleiman, E. M. (2013). The positive role of negative emotions in psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 105(4), 603–617. (Catatan: Ini adalah contoh sumber yang mendukung gagasan "positive negativity" meskipun istilahnya mungkin tidak persis sama dalam literatur).
• Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (1996). The Posttraumatic Growth Inventory: Measuring the positive legacy of trauma. Journal of Traumatic Stress,3 9(3), 455–471.
• Taylor, S. E., & Brown, J. D. (1988). Illusion and well-being: A social psychological perspective on mental health. Psychological Bulletin, 103(2), 193–210.
_________________________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID