Breaking News

PENGELOLAAN REMUNERASI KOMISARIS OLEH KORPORASI: DILEMA KERENTANAN SIFAT DASAR MANUSIA DAN EFEKTIFITAS FUNGSI


Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 19 Juni 2025

Laksana mata elang yang harusnya tajam mengawasi dari ketinggian, peran dewan komisaris dalam struktur korporasi di Indonesia seringkali terbayangi oleh dilema yang rumit. Mereka adalah garda terdepan dalam fungsi “pengawasan, pengendalian, dan pengelolaan risiko”, penyeimbang kekuasaan direksi. Namun, ketika “komisaris digaji oleh korporasi” yang seharusnya mereka awasi, muncul pertanyaan fundamental tentang “obyektivitas, independensi, dan efektivitas” mereka. Ini adalah “drama etis” yang senyap, dimainkan di antara kepentingan dan kewajiban, di mana tali gaji bisa menjadi belenggu yang mengikat kebebasan mereka untuk bersuara dan bertindak tegas. Terlebih lagi dalam kasus perusahaan publik (Tbk/listed) yang mana komisaris independen berkewajiban melindungi kepentingan pemegang saham publik/minoritas. Sementara hatinya cenderung lebih condong kepada pemegang saham mayoritas/pengendali, yang mana adalah pihak yang mengelola gaji, termasuk gaji dewan komisaris.

Sistem dua lapis (two-tier board system) yang dianut Indonesia menempatkan dewan komisaris sebagai organ pengawasan yang terpisah dari direksi (ICG, 2006). Tugas utamanya adalah memastikan bahwa direksi menjalankan perusahaan sesuai dengan tujuan dan kepentingan pemegang saham, serta mematuhi peraturan yang berlaku. Namun, “struktur penggajian komisaris” oleh perusahaan itu sendiri secara inheren menciptakan potensi konflik kepentingan (Jensen & Meckling, 1976, Agency Theory). Pertanyaan mendasar muncul: bagaimana mungkin seorang pengawas bisa sepenuhnya independen jika sumber penghasilannya berasal dari pihak yang diawasi? Ini dapat memicu “bias self-interest” yang menggerogoti integritas pengawasan.

Kondisi ini secara langsung dapat memengaruhi “objektivitas” dewan komisaris. Ketika kompensasi—termasuk gaji, tunjangan, dan bonus—ditentukan atau sangat dipengaruhi oleh kinerja perusahaan dan keputusan direksi, ada potensi komisaris menjadi enggan untuk melakukan pengawasan yang terlalu ketat atau mengajukan pertanyaan sulit yang dapat memengaruhi profitabilitas jangka pendek atau stabilitas manajemen (Bebchuk & Fried, 2004). Mereka mungkin merasa terikat secara finansial untuk tidak "mengguncang kapal," bahkan ketika ada indikasi penyimpangan. Imbalan finansial yang menarik bisa menjadi “rantai emas” yang membatasi keberanian.

Lebih lanjut, ini mengancam “independensi” dewan komisaris. Meskipun ada definisi komisaris independen yang ketat dalam peraturan, realitas bahwa semua komisaris, termasuk yang independen, menerima remunerasi dari perusahaan dapat menciptakan “tekanan psikologis” dan “ketergantungan ekonomi” (Hermalin & Weisbach, 2003). Keinginan untuk mempertahankan posisi, reputasi, dan pendapatan dapat mengalahkan kewajiban fidusia untuk bertindak murni demi kepentingan perusahaan dan pemegang saham. Hal ini diperparah jika ada “budaya old boys' network” atau hubungan pribadi yang kuat antara komisaris dan direksi, menjadikan pengawasan hanya sebagai formalitas.

Dampak akhirnya adalah berkurangnya “efektivitas dewan komisaris” dalam menjalankan fungsi krusial mereka: pengawasan, pengendalian, dan pengelolaan risiko. Jika pengawasan tidak objektif dan independen, potensi “penyalahgunaan wewenang direksi”, “manipulasi laporan keuangan”, atau “keputusan yang merugikan perusahaan” akan semakin besar (Shleifer & Vishny, 1997). Risiko operasional, finansial, dan reputasi perusahaan menjadi lebih tinggi karena tidak adanya mekanisme check and balance yang benar-benar kuat. Pada akhirnya, ini merugikan pemegang saham, terutama minoritas, dan dapat mengancam keberlanjutan perusahaan.

Pada akhirnya, isu “kompensasi komisaris” oleh korporasi yang mereka awasi adalah sebuah “paradoks tata kelola” yang menuntut resolusi. Ini adalah proses  tarik-menarik antara kepentingan pribadi dan tanggung jawab publik, sebuah cermin yang merefleksikan kerentanan sistem terhadap sifat dasar manusia. Untuk memastikan "obyektivitas dan independensi" yang sejati, mungkin perlu dipertimbangkan mekanisme penggajian yang meminimalkan konflik kepentingan; seperti “penggajian komisaris melalui lembaga independen kolektif semacam Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, dan penegakan kode etik yang lebih ketat oleh lembaga yang sama. Sebab, hanya ketika mata elang pengawas ini benar-benar bebas dari bayang-bayang loyalitas semu, barulah dapat dibangun korporasi yang tidak hanya kuat secara finansial, tetapi juga “berintegritas, akuntabel, dan berkelanjutan”.

Referensi:
Bebchuk, L. A., & Fried, J. M. (2004). Pay without Performance: The Unfulfilled Promise of Executive Compensation. Harvard University1 Press.
Hermalin, B. E., & Weisbach, M. S. (2003). Boards of directors as an endogenously determined institution: A survey of the economic literature.2 Federal Reserve Bank of New York Economic Policy3 Review, 9(1), 7-26.
Indonesian Corporate Governance (ICG). (2006). Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.
Shleifer, A., & Vishny, R.4 W. (1997). A survey of corporate governance. The Journal of Finance, 52(2), 737-783.

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID