KETIKA HILANGNYA iPHONE PENUMPANG MEMERCIK API PEMBAKAR REPUTASI
Oleh: Prof. Makin Perdana Kusuma, SE,MM,PhD.
Depok, 12 Juni 2025
Yang dahulu menjadi simbol kebanggaan bangsa Indonesia, Garuda Indonesia akhir-akhir ini terombang-ambing dalam badai citra yang tak usai-usai. Kasus hilangnya iphone milik penumpang di kabin baru-baru ini, yang nampak sepele, justru menjelma menjadi “percikan api di atas sumbu yang basah”, yang siap melahap, membakar sisa-sisa kredibilitas yang masih ada. Ini bukan sekadar insiden tunggal, melainkan “pertaruhan nama baik” yang maha penting bagi maskapai pelat merah ini, terutama setelah sebelumnya citranya remuk redam akibat “mega korupsi masif oleh jajaran direksi” (Jensen, 2003). Dalam balutan seragam dan senyum yang seharusnya profesional, kini tersimpan pertanyaan besar tentang integritas dan kualitas manajemen mereka yang sesungguhnya.
Insiden kehilangan barang, meskipun terkesan sederhana dan kerap terjadi dalam layanan publik, menjadi bola api di ruang publik khusus untuk Garuda Indonesia. Hal ini disebabkan oleh “historical baggage” perusahaan, yaitu serangkaian kasus korupsi masif oleh mantan CEO Emirsyah Satar, mismanagement, serta gaya hidup hedonistik jajaran upper echelon-nya (Anwar, 2017). Dalam konteks manajemen reputasi, “krisis yang terjadi secara berurutan” atau di atas fondasi masalah sebelumnya, akan jauh lebih merusak dan sulit dikelola (Fombrun & van Riel, 2004). Persepsi publik tidak hanya menilai insiden saat ini, tetapi juga menghubungkannya dengan sejarah dan pola perilaku organisasi di masa lalu.
Beberapa pihak menyebut insiden pencurian barang penumpang – yang diduga dilakukan awak kabin – hanyalah “puncak gunung es” dari buruknya “corporate culture” perusahaan BUMN tersebut (Schein, 2010). Budaya organisasi yang lemah atau toksik dapat "mendorong perilaku tidak etis" dan "kurangnya akuntabilitas" di semua tingkatan (Treviño et al., 1999). Meskipun ada upaya reformasi internal yang nampak setelah terbongkarnya mega korupsi triliunan rupiah oleh Emirsyah Satar, optimisme ini tampaknya kembali terbentur realita. Ini menunjukkan bahwa “perubahan budaya organisasi” adalah proses yang kompleks dan membutuhkan waktu panjang, bukan sekadar respons reaktif terhadap krisis (Kotter, 1996).
Dalam konteks ini, “manajemen krisis” menjadi sangat krusial (Coombs, 2007). Strategi komunikasi dan penanganan insiden yang dilakukan oleh divisi Public Relations (PR) Garuda Indonesia akan menjadi penentu. Pertanyaan utama yang mengemuka adalah bagaimana mereka akan melakukan “crisis handling” di kasus ini, terutama dengan “residu kerusakan citra” dari mega korupsi mantan CEO-nya. Keberhasilan manajemen krisis tidak hanya tergantung pada kecepatan respons, tetapi juga pada “transparansi, akuntabilitas, dan empati” yang ditunjukkan kepada publik dan korban (Ulmer et al., 2017).
Kasus ini juga menyoroti pentingnya “tata kelola perusahaan yang kuat” (corporate governance) (Shleifer & Vishny, 1997) dan “pengawasan internal yang efektif” untuk mencegah perilaku koruptif dan maladministrasi. Kegagalan dalam aspek ini tidak hanya merugikan finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik dan pemangku kepentingan. Masa depan Garuda Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk tidak hanya menyelesaikan kasus ini, tetapi juga secara fundamental “mereformasi inti budayanya” dan membangun kembali fondasi integritas yang kokoh, menjadikannya bukan sekadar upaya cosmetic repair, melainkan “transformasi sejati”.
Pada akhirnya, Garuda Indonesia berdiri di persimpangan jalan—di antara bayang-bayang masa lalu yang kelam dan harapan akan manajemen maskapai penerbangan yang lebih bersih. Kasus pencurian barang penumpang ini, meskipun kecil, adalah “cermin yang merefleksikan kegagalan sistemik” yang lebih besar. Ia adalah “ujian sejati bagi komitmen reformasi” perusahaan. Apakah Garuda akan mampu bangkit dari badai ini dengan sayap yang lebih kuat, membawa kembali kepercayaan yang hilang, ataukah ia akan terus terperangkap dalam pusaran intrik dan mismanagement yang telah merenggut kebanggaan publik? Jawaban ada di tangan manajemen, dalam setiap kebijakan, setiap tindakan, dan setiap upaya tulus untuk “menjahit kembali kain kepercayaan” yang telah terkoyak, demi kembali terbang tinggi dalam langit reputasi.
------SELESAI------
Referensi:
Anwar, T. (2017, September 15). Ini rentetan kasus dugaan korupsi Emirsyah Satar, mantan Dirut Garuda. detikcom. (Ini adalah referensi berita sebagai dasar fakta, bukan jurnal ilmiah).
Coombs, W. T. (2007). Ongoing crisis communication: Planning, managing, and responding (2nd ed.). SAGE Publications.
Fombrun, C. J., & van Riel, C. B. M. (2004). Fame & fortune: How leading companies build strong reputations. Prentice Hall.
Jensen, M. C. (2003). Agency costs of overvalued equity. Financial Management, 32(1), 5–19. (Dapat digunakan untuk membahas dampak korupsi direksi secara umum).
Kotter, J. P. (1996). Leading change. Harvard Business School Press.
Schein, E. H. (2010). Organizational culture and leadership (4th ed.). Jossey-Bass.
Shleifer, A., & Vishny, R. W. (1997). A survey of corporate governance. The Journal of Finance, 52(2), 737–783.
Treviño, L. K., Weaver, G. R., & Brown, M. E. (1999). Managing ethics in organizations: A interdisciplinary perspective. Journal of Management, 25(2), 263–297.
Ulmer, R. R., Sellnow, T. L., & Seeger, M. W. (2017). Effective crisis communication: Moving from crisis to opportunity (4th ed.). SAGE Publications.
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header