Breaking News

DISINFORMASI DI ERA POST-TRUTH: MEDAN LAGA "HYPERSONIC" YANG SEBELUMNYA TAK ADA


Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 23 Juni 2025.
Di era yang sering disebut "post-truth" ini, di mana emosi dan keyakinan pribadi seringkali lebih dominan daripada fakta objektif, medan pertempuran modern tidak hanya terbatas pada lini depan fisik. Sebuah perang yang lebih senyap, namun tak kalah destruktif, berkecamuk di ruang digital: perang disinformasi. Konflik geopolitik yang sudah kompleks antara Iran, Israel, dan sekutu masing-masing, kini diperparah oleh kampanye naratif yang terkoordinasi, di mana "kebenaran menjadi komoditas yang mudah dibengkokkan" dan informasi digunakan sebagai senjata strategis untuk memanipulasi opini publik, baik di dalam negeri maupun di panggung global.

Disinformasi bukanlah fenomena baru dalam konflik. Namun, era digital telah memberinya "kekuatan amplifikasi yang belum pernah ada sebelumnya". Dengan media sosial, situs berita palsu, dan jaringan bot, narasi palsu dapat menyebar dengan kecepatan kilat, menjangkau jutaan orang dalam hitungan detik (Howard et al., 2018). Baik Iran maupun Israel, didukung oleh sekutu dan proksi mereka, telah secara aktif memanfaatkan taktik ini untuk "mengklaim superioritas moral, menyudutkan lawan, dan memobilisasi dukungan". Tujuan utamanya adalah untuk membentuk persepsi publik agar sesuai dengan agenda politik mereka, mengikis kepercayaan pada sumber berita yang kredibel, dan mengaburkan garis antara fakta dan fiksi.

Dari sisi Iran dan aliansi Axis of Resistance mereka—termasuk kelompok seperti Hizbullah di Lebanon dan berbagai milisi di Irak dan Suriah—kampanye disinformasi seringkali berpusat pada "penggambaran Israel sebagai entitas penjajah dan opresif" (BBC Monitoring, 2023). Mereka menggunakan narasi tentang penderitaan rakyat Palestina, menggarisbawahi kejahatan perang yang diduga dilakukan oleh Israel, dan menyerukan solidaritas pan-Islam. Di sisi lain, mereka juga berusaha "menggambarkan diri mereka sebagai pembela keadilan dan perlawanan terhadap hegemoni Barat dan Zionis". Taktik yang digunakan meliputi penyebaran video yang dimanipulasi, klaim yang tidak berdasar tentang serangan musuh, dan amplifikasi narasi anti-Israel melalui jaringan akun palsu di media sosial.

Sebaliknya, Israel dan sekutunya, termasuk Amerika Serikat dan beberapa negara Barat, fokus pada "penggambaran Iran sebagai ancaman destabilisasi regional dan pendukung terorisme" (Council on Foreign Relations, 2024). Mereka menekankan program nuklir Iran, dukungannya terhadap kelompok-kelompok bersenjata non-negara, dan pelanggaran hak asasi manusia di dalam negeri. Narasi ini bertujuan untuk "membangun legitimasi tindakan militer Israel" sebagai respons defensif dan untuk mempertahankan dukungan internasional. Mereka juga menggunakan media sosial dan saluran berita untuk "menampilkan diri sebagai korban agresi" dan menyoroti serangan yang mereka alami, seringkali dengan menekankan ancaman eksistensial. Taktik disinformasi mereka bisa berupa penyebaran materi yang belum diverifikasi yang merugikan musuh, atau mengemas ulang informasi untuk memicu respons emosional yang mendukung narasi mereka.

Dampak dari perang disinformasi ini sangat merusak. Pertama, ia "mengikis kepercayaan publik" terhadap media, institusi, dan bahkan pemerintah (Ruch et al., 2020). Ketika sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, masyarakat menjadi rentan terhadap manipulasi. Kedua, ini "memperdalam polarisasi" dan kebencian. Narasi disinformasi yang sarat emosi memperkuat prasangka dan menyulut permusuhan di antara kelompok-kelompok yang berbeda pandangan. Ketiga, ia "menghambat penyelesaian konflik". Sulit untuk mencapai resolusi damai ketika masing-masing pihak hidup dalam realitas naratif yang berbeda dan saling bertentangan, yang diperkuat oleh informasi yang salah. Tantangan utama di era post-truth adalah bagaimana membangun kembali literasi media kritis dan kemampuan untuk memverifikasi informasi di tengah derasnya arus disinformasi yang dirancang dengan sangat canggih.

Perang disinformasi yang dilakukan oleh Iran, Israel, dan sekutu mereka di era post-truth adalah "medan tempur baru yang berbahaya". Di dalamnya, kebenaran menjadi alat yang dapat dibengkokkan, dan narasi dipersenjatai untuk memanipulasi opini publik. Baik Iran maupun Israel menggunakan taktik canggih untuk mengklaim legitimasi dan menyudutkan lawan mereka, yang pada gilirannya "memperdalam polarisasi dan menghambat upaya perdamaian". Memahami dinamika perang ini krusial untuk menavigasi kompleksitas konflik modern dan mempertahankan kemampuan kita untuk membedakan fakta dari fiksi.

Di tengah riuhnya feed media sosial dan berita yang simpang siur, kita semua adalah saksi sekaligus target dalam perang disinformasi ini. Kita tak hanya menjadi penonton, melainkan "medan pertempuran itu sendiri"—pikiran dan emosi kita adalah wilayah yang diperebutkan. Ketika narasi-narasi yang dipersenjatai berusaha menarik kita ke dalam pusaran kebencian dan kebingungan, kita dihadapkan pada sebuah pilihan fundamental: apakah kita akan menjadi "gema tanpa berpikir" dari narasi yang dimanipulasi, ataukah kita akan menjadi "penjaga akal sehat", yang berani bertanya, memverifikasi, dan menolak untuk ditarik ke dalam jaring laba-laba kata-kata. Sebab, pada akhirnya, pertahanan terbaik kita bukanlah dengan membalas disinformasi dengan disinformasi, melainkan dengan "memegang teguh pada fakta, empati, dan kebijaksanaan" di tengah badai informasi. Hanya dengan begitu, kita bisa berharap untuk menemukan jalan menuju pemahaman, bahkan di era di mana kebenaran terasa begitu rapuh.

------SELESAI------

Referensi:
• BBC Monitoring. (2023). How Iran's media propagates its worldview. (Laporan internal atau analisis media dari BBC Monitoring seringkali mengulas strategi narasi negara-negara).
• Council on Foreign Relations. (2024). Iran's Foreign Policy and Regional Role. (Seringkali menerbitkan analisis tentang narasi dan kebijakan luar negeri negara-negara).
• Howard, P. N., Gallacher, J., & Ganesh, B. (2018). The global computational propaganda research project. Computational Propaganda Research Project, Working Paper, (2017.1). (Meskipun ini adalah kertas kerja, ini adalah salah satu sumber otoritatif tentang propaganda komputasi global).
• Ruch, C., Messing, S., & Lindberg, F. (2020). The effects of media coverage and political polarization on trust in science. Public Understanding of Science, 29(4), 387-402. (Meskipun tidak spesifik untuk Iran-Israel, ini relevan dengan dampak polarisasi dan media pada kepercayaan).
___________________________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID