Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 13 Desember 2025
Menjelang senja kehidupan, manusia sering menoleh ke belakang dengan mata yang basah dan hati yang berat. Bukan karena ia merasa kurang dicintai, melainkan karena ia sadar betapa sedikit ia telah mencintai. “Penyesalan terbesar manusia di akhir hidupnya bukanlah kekurangan cinta yang diterima, melainkan kekurangan cinta yang diberikan” (Bronnie Ware, 2012). Seperti bunga yang layu karena tak sempat mekar, hati manusia merasakan kehampaan ketika cinta yang seharusnya ditabur, dibiarkan kering dalam genggaman ego dan ketakutan.
Dalam psikologi positif, cinta dipandang sebagai kekuatan transformatif yang melampaui sekadar emosi. “Cinta adalah faktor utama yang meningkatkan kesejahteraan subjektif dan memperpanjang umur” (Fredrickson, 2013). Ketika seseorang gagal mencintai, ia kehilangan kesempatan untuk mengalami kebahagiaan yang mendalam. Penyesalan muncul bukan karena cinta tidak datang kepadanya, tetapi karena ia menyumbat pintu aliran energi cinta, karena berhenti memberi cinta kepada orang lain.
Dalam perspektif eksistensial, cinta adalah jalan menuju makna. “Makna hidup ditemukan bukan dalam pencapaian materi, tetapi dalam relasi yang penuh kasih” (Frankl, 2006). Ketika manusia tidak cukup mencintai, ia kehilangan kesempatan untuk meneguhkan eksistensinya. Hidup tanpa cinta adalah hidup yang kehilangan arah, sebab cinta adalah kompas yang menuntun manusia pada makna terdalam.
Secara sosial, cinta adalah perekat yang menjaga harmoni. “Kehidupan sosial yang sehat bergantung pada kemampuan individu untuk memberi dan menerima cinta” (Deci & Ryan, 2000). Ketika seseorang tidak cukup mencintai, ia bukan hanya merugikan dirinya, tetapi juga merusak jalinan sosial yang menopang kehidupan bersama. Penyesalan di akhir hidup sering muncul karena menyadari bahwa relasi yang renggang, konflik yang tak terselesaikan, dan jarak yang dibiarkan, semua berakar dari kurangnya cinta.
Dalam filsafat spiritual, cinta adalah inti dari kebebasan batin. “Cinta adalah energi yang membebaskan manusia dari keterikatan ego dan membawa pada keikhlasan” (Al-Attas, 2021). Ketika seseorang terbiasa bermeditasi mengamati gerak-gerik pikiran dan perasaannya, maka dia pasti mendapati bahwa memberi cinta itu lebih membahagiakan daripada menuntut untuk diberi. Ketika seseorang tidak cukup mencintai, ia kehilangan kesempatan untuk menyatu dengan kebenaran yang lebih tinggi. Penyesalan muncul karena ia sadar bahwa cinta adalah jalan pulang, dan ia telah terlalu lama berjalan menjauh.
Dari sudut neurosains, cinta bukan hanya perasaan, melainkan proses biologis yang melibatkan otak dan sistem saraf. “Aktivasi pada area ventral tegmental dan nucleus accumbens menunjukkan bahwa cinta memicu sistem reward otak, menghasilkan rasa makna dan keterhubungan” (Zeki, 2017). Ketika seseorang tidak cukup mencintai, otaknya kehilangan kesempatan untuk mengalami pelepasan dopamin dan oksitosin yang memperkuat ikatan sosial dan kebahagiaan. Penyesalan di akhir hidup adalah refleksi biologis sekaligus spiritual: otak merindukan pengalaman mencintai.
Kesimpulannya, penyesalan terbesar manusia menjelang akhir hidup bukanlah karena tidak cukup dicintai, tetapi karena tidak cukup mencintai. “Memberi cinta adalah bentuk tertinggi dari keberadaan manusia” (Fredrickson, 2013). Cinta yang tidak diberikan adalah kesempatan yang hilang, dan kesempatan yang hilang adalah luka yang tak bisa disembuhkan oleh waktu.
Dan akhirnya, mari kita renungkan: apakah kita hidup untuk menunggu dicintai, atau untuk berani mencintai? Sebab cinta yang kita berikan adalah jejak yang akan tetap ada, bahkan ketika tubuh kita tiada. Dalam keberanian untuk mencintai, manusia menemukan keabadian. Dan dalam keabadian itulah, penyesalan tak lagi punya tempat.
Referensi:
• Ware, B. (2012). The Top Five Regrets of the Dying. Hay House.
• Fredrickson, B. L. (2013). Love 2.0: How Our Supreme Emotion Affects Everything We Feel, Think, Do, and Become. Hudson Street Press.
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “What” and “Why” of Goal Pursuits: Human Needs and the Self-Determination of Behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227–268.
• Al-Attas, S. M. N. (2021). Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. ISTAC.
• Zeki, S. (2017). The Neurobiology of Love. FEBS Letters, 591(19), 2575–2589.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header