Aceh Singkil | Kamis 18 Desember 2025
Lumbung Informasi Mahasiswa Matangkuli (LIMMA) menyayangkan pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menyebut “saya tidak punya tongkat Nabi Musa”. Pernyataan ini bukan hanya keliru secara narasi, tetapi melukai nalar publik di tengah penderitaan rakyat yang masih berkepanjangan.
Saat rakyat berhadapan dengan bencana, kemiskinan, kelaparan, dan krisis pelayanan dasar, Presiden RI justru menyampaikan pernyataan simbolik yang terkesan cuci tangan dan melempar tanggung jawab. Negara memang bukan Tuhan, tetapi Presiden adalah pemegang mandat tertinggi kekuasaan negara. Alasan tidak memiliki “tongkat mukjizat” tidak dapat dijadikan pembenaran atas kegagalan kebijakan dan lemahnya kehadiran negara.
LIMA menegaskan: Rakyat tidak pernah menuntut keajaiban, rakyat hanya menuntut keadilan, keberpihakan, dan kerja nyata. Ketika Negara abai, pernyataan semacam ini hanya mempertebal jarak antara kekuasaan dan penderitaan rakyat.
Lebih ironis, narasi ini muncul dari seorang Presiden yang memegang kendali penuh atas instrumen negara. Jika kebijakan tidak mampu menjawab krisis, maka yang harus dikoreksi adalah arah kekuasaan, bukan keyakinan rakyat.
LIMA menilai pernyataan tersebut mencerminkan krisis empati dan krisis kepemimpinan. Presiden seharusnya berdiri di barisan terdepan menghadapi persoalan rakyat, bukan berlindung di balik metafora.
Atas dasar itu, LIMMA menuntut:
Presiden berhenti menyampaikan pernyataan yang merendahkan akal sehat publik.
Pemerintah bertanggung jawab penuh atas dampak kebijakan yang gagal.
Negara hadir secara nyata, bukan retorika kosong.
Jika penguasa mulai alergi kritik, maka mahasiswa wajib berdiri sebagai pengingat. Diam adalah pengkhianatan terhadap rakyat.Tutupnya Mufadhal
Narasumber: (Mufadhal) Ketua Limma (lumbung informasi mahasiswa matangkuli)
Jurnalis: Rayali lingga Aceh Singkil
Media Nasional: Jejak Kasus Group


Social Header