Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 6 Desember 2025
Di balik hiruk-pikuk kota dan gemerlap layar-layar digital, manusia sebagian besar berjalan dengan satu hasrat dan tujuan puncak yang sama: ingin hidup enak dan tampak bergaya. Seperti arus sungai yang tak pernah berhenti, kita mengalir menuju kenyamanan dan pengakuan. “Kehidupan modern telah menjadikan kenikmatan dan citra sebagai komoditas utama dalam perburuan makna” (Kaczmarek, 2020). Makan enak, tidur enak, duduk di tempat yang enak—semua menjadi simbol keberhasilan. Namun, apakah enak itu cukup? Apakah gaya itu benar-benar memberi nilai?
Dalam psikologi motivasi, dorongan untuk hidup nyaman disebut sebagai motivasi hedonik. “Motivasi hedonik adalah kecenderungan untuk mengejar pengalaman yang menyenangkan dan menghindari yang tidak menyenangkan” (Kaczmarek, 2020). Kita bekerja keras bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk menikmati hidup. Rumah yang sejuk, kasur yang empuk, makanan yang lezat—semua menjadi tujuan yang sah. Namun, ketika kenyamanan menjadi satu-satunya kompas, kita bisa kehilangan arah menuju kedalaman.
Di sisi lain, gaya-gayaan adalah bentuk pencarian identitas sosial. “Manusia cenderung menampilkan status dan pencapaian sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan validasi sosial” (van Halem et al., 2024). Mobil mewah, gelar akademik, pasangan yang memesona, jabatan yang bergengsi—semua menjadi simbol yang dipamerkan. Gaya bukan lagi soal estetika, tetapi tentang eksistensi. Kita ingin dilihat, diakui, dan dikagumi. Namun, dalam sorotan itu, apakah kita benar-benar hadir sebagai diri sendiri?
Fenomena ini juga berkaitan dengan konsep treadmill hedonik. “Manusia cenderung kembali ke titik netral kebahagiaan setelah pencapaian, sehingga terus mengejar lebih banyak tanpa pernah benar-benar puas” (van Halem et al., 2024). Hidup enak dan bergaya bisa menjadi siklus tanpa akhir. Kita terus berlari, berharap ada puncak, padahal puncaknya terus bergeser. Dalam kejaran itu, waktu berlalu, dan makna bisa tertinggal di belakang.
Dalam kerangka psikologi humanistik, hierarki kebutuhan Maslow yang terdiri dari lima lapisan—fisiologis, keamanan, cinta dan rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri—dapat diperas menjadi dua dorongan utama: enak-enakan dan gaya-gayaan. “Kebutuhan fisiologis dan keamanan berkaitan erat dengan kenyamanan jasmani, sementara kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri sering kali diwujudkan dalam bentuk citra dan status sosial” (Maslow, 1943; Wahyuningsih, 2023). Bahkan kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki dan termiliki sering kali dikaitkan dengan bagaimana seseorang tampil dan diterima secara sosial, sehingga memberikan rasa enak dan nyaman. Maka, dalam praktik kehidupan modern, piramida Maslow tak jarang berubah menjadi dua kutub: satu mengejar rasa nyaman, dan satu lagi mengejar pengakuan. Namun, sebenarnya ada jenis manusia yang tak terpotret oleh hierarki kebutuhan Maslow; yaitu orang-orang yang jiwanya sudah mampu terbang melampaui puncak aktualisasi diri dari hierarki Maslow. Ini adalah jenis manusia yang sudah memiliki kerinduan untuk pulang ke inti diri.
Kesimpulannya, hidup enak dan bergaya bukanlah kesalahan, tetapi bisa menjadi jebakan jika tidak disertai kesadaran. “Kenyamanan dan citra adalah bagian dari kehidupan, tetapi bukan inti dari kebermaknaan” (Kaczmarek, 2020). Kita perlu bertanya: apakah kita hidup untuk merasa enak dan tampak hebat, atau untuk menjadi utuh dan berarti?
Dan akhirnya, mari kita berhenti sejenak di tengah arus. Duduk di kursi yang mungkin tidak empuk, tanpa sorotan gaya, dan bertanya: siapa aku tanpa semua ini? Sebab makna sejati tidak selalu hadir dalam kemewahan, tetapi dalam kesederhanaan yang jujur. Mungkin, ketika kita mulai mampu menyaksikan, mengamati dan memahami setiap gerak-gerik keinginan untuk enak-enakan dan gaya-gayaan, samar-samar kita mulai bisa mendengar panggilan untuk kembali ke inti diri, setelah sekian lama terlena di keriuhan dimensi tepi.
Referensi:
• Kaczmarek, L. D. (2020). Hedonic Motivation. In Encyclopedia of Personality and Individual Differences. Springer. https://link.springer.com/rwe/10.1007/978-3-319-24612-3_524
• van Halem, S., van Roekel, E., & Denissen, J. (2024). Understanding the Dynamics of Hedonic and Eudaimonic Motives on Daily Well-Being. Journal of Happiness Studies, 25, Article 107. https://link.springer.com/article/10.1007/s10902-024-00812-0
• Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396.
• Wahyuningsih, S. (2023). Relevansi Hierarki Kebutuhan Maslow dalam Kehidupan Modern. Jurnal Psikologi Indonesia, 12(2), 145–160.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header