Breaking News

DERITA ADALAH RAHMATNYA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 7 Desember 2025

Bayangkan sebuah dunia tanpa luka, tanpa tangis, tanpa jatuh, tanpa gelap, tanpa masalah. Dunia yang bersih dari derita, steril dari penyakit, sunyi dari kesedihan, dan bebas dari kegagalan. Seperti taman surgawi yang tak pernah layu, hidup berjalan tanpa rintangan, tanpa duri, tanpa badai. Namun, dalam keheningan yang sempurna itu, apakah jiwa masih bisa tumbuh? “Makna hidup tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari pergulatan dengan keterbatasan” (Peltomäki, 2023). Tanpa penderitaan, hidup mungkin menjadi datar, seperti lukisan yang kehilangan bayangan.

Secara psikologis, penderitaan berperan sebagai pemicu refleksi dan pembentukan identitas. “Pengalaman negatif sering kali menjadi titik balik dalam pencarian makna dan arah hidup” (Gosetti-Ferencei, 2020). Kesedihan mengajarkan empati, penyakit mengajarkan kerendahan hati, kegagalan mengajarkan ketekunan. Tanpa itu semua, manusia bisa kehilangan kedalaman emosional dan spiritual. Hidup yang hanya berisi kemudahan bisa membuat kita lupa bagaimana rasa nikmatnya bersyukur.

Dalam filsafat eksistensial, penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan. “Sartre, Nietzsche, dan Levinas melihat penderitaan sebagai ruang di mana manusia bertemu dengan dirinya yang paling jujur” (Aaltola, 2019). Tanpa penderitaan, kita mungkin tidak pernah bertanya: siapa aku? Untuk apa aku hidup? Kita hanya berjalan, tanpa gentar, tanpa gelisah, tanpa pencarian. Padahal, pencarianlah yang melahirkan makna.

Secara sosial, penderitaan menciptakan solidaritas. “Kesedihan bersama membentuk ikatan yang lebih kuat daripada kesenangan bersama” (Gosetti-Ferencei, 2020). Dalam dunia tanpa kesedihan, manusia bisa menjadi terasing, hidup dalam gelembung kenyamanan yang terpisah dari realitas orang lain. Tanpa kegagalan, kita mungkin kehilangan kemampuan untuk menghargai keberhasilan orang lain. Tanpa penyakit, kita mungkin kehilangan rasa peduli.

Dalam pandangan spiritual, penderitaan adalah jalan sunyi menuju penyucian jiwa. “Kesedihan, penyakit, dan kegagalan adalah bentuk ujian yang membuka pintu kesadaran akan kehadiran Ilahi” (Al-Attas, 2021). Tanpa penderitaan, manusia bisa kehilangan rasa tunduk, kehilangan doa yang tulus, dan kehilangan kerinduan akan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya. Dalam tradisi mistik, luka bukanlah kutukan, melainkan panggilan untuk kembali kepada sumber cahaya. Tanpa gelap, kita mungkin tak pernah mencari terang. Tanpa jatuh, tanpa kegagalan, tanpa kebuntuan, kita mungkin tak pernah tahu bahwa ada kekuatan di balik keberserahan.

Kesimpulannya, hidup tanpa penderitaan bukanlah surga, melainkan ruang kosong yang kehilangan kontras. “Tanpa gelap, cahaya tidak memiliki makna” (Peltomäki, 2023). Penderitaan bukan musuh kehidupan, tetapi gurunya. Ia mengasah, membentuk, dan menghidupkan. Tanpa penderitaan, manusia mungkin menjadi makhluk yang berjalan tanpa arah, hidup tanpa kedalaman, dan mencinta tanpa gentar.

Dan akhirnya, mari kita peluk luka sebagai bagian dari nyanyian jiwa, yang menuntun kita ke arah cahaya. Sebab dalam retakan-retakan itulah cahaya masuk. Jika hidup ini tanpa penderitaan, mungkin kita tak akan pernah tahu betapa indahnya harapan, betapa agungnya ketabahan, dan betapa dalamnya cinta yang lahir dari kehilangan. Maka biarlah hidup tetap memiliki gelap, agar terang bisa benar-benar menyala. Agar kita sadar bahwa tangis dan tawa sama-sama berguna, bahwa tangis dan tawa adalah rahmat karunia-Nya.

Referensi:
• Aaltola, E. (2019). Philosophical Narratives of Suffering: Nietzsche, Levinas, Weil and Their Cultural Roots. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/333697468
• Al-Attas, S. M. N. (2021). Spiritual Dimensions of Human Suffering in Islamic Thought. Journal of Islamic Philosophy, 17(2), 45–62.
• Gosetti-Ferencei, J. A. (2020). Existential Suffering, Happiness, and Hope. In On Being and Becoming: An Existentialist Approach to Life. Oxford University Press. https://academic.oup.com/book/33452/chapter/287724446
• Peltomäki, I. J. (2023). Meaningfulness, Death, and Suffering: Philosophy of Meaning in Life in the Light of Finitude. Human Arenas. https://link.springer.com/article/10.1007/s42087-023-00376-0
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID