Breaking News

MENJADI KORUPTOR, UNTUNG ATAU RUGI?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 13 September 2025.
Di negeri yang tanahnya subur dan langitnya luas, ada sungai-sungai yang mengalirkan bukan hanya air, tetapi juga arus tak kasatmata: arus uang yang menyelinap di bawah meja, arus janji yang dibungkus senyum, arus kepentingan yang menggerogoti akar pohon keadilan. “Korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanah publik, yang merampas hak generasi kini dan mendatang” (Transparency International, 2024). Ironisnya, di tanah yang konstitusinya menjamin kebebasan beragama dan di mana lembaga pendidikan agama tumbuh pesat, praktik ini justru bersemi di banyak sudut. Seperti lumut di batu, ia menempel pada sistem, tak peduli seberapa sering batu itu dibasuh doa.

Secara ekonomi, korupsi memang menciptakan perputaran uang. “Ekonomi berbasis rente dan suap dapat memunculkan aktivitas ekonomi semu yang menguntungkan segelintir pihak” (Suryanto, 2022). Ada proyek yang berjalan karena pelicin, ada bisnis yang hidup karena koneksi gelap. Namun, ini ibarat membangun rumah di atas pasir: tampak berdiri megah, tetapi rapuh di fondasinya. Perputaran uang yang lahir dari korupsi tidak menciptakan nilai tambah berkelanjutan; ia hanya memindahkan kekayaan dari banyak tangan ke segelintir kantong.

Dampak sosialnya jauh lebih dalam. “Korupsi merusak kepercayaan publik terhadap institusi dan melemahkan legitimasi negara” (KPK, 2023). Ketika masyarakat melihat hukum bisa dibeli, moral publik pun terkikis. Nilai-nilai agama yang diajarkan di mimbar dan kelas menjadi retorika kosong jika perilaku nyata para pemimpin dan warga bertolak belakang. Di titik ini, kerugian menjadi bukan hanya soal angka dalam APBN, tetapi juga soal luka dalam jiwa kolektif bangsa.

Dari sudut pandang psikologi, perilaku korupsi sering kali berakar pada bias kognitif dan rasionalisasi moral. “Pelaku korupsi kerap mengalami moral disengagement, yaitu mekanisme psikologis yang memutus hubungan antara nilai moral pribadi dan tindakan yang dilakukan” (Bandura, 2016). Mereka membenarkan perbuatan dengan alasan “semua orang juga melakukannya” atau “ini hanya bagian kecil dari sistem yang sudah rusak”, sehingga rasa bersalah tereduksi dan perilaku menyimpang menjadi kebiasaan.
Dari sudut pandang spiritualisme, korupsi adalah bentuk kegelapan batin yang menutupi cahaya kesadaran. “Setiap tindakan yang merugikan orang lain demi keuntungan pribadi mempertebal tirai ego, menjauhkan jiwa dari harmoni dengan sumber kehidupan” (Tolle, 2005). Dalam banyak tradisi spiritual, kekayaan yang diperoleh secara tidak benar diyakini membawa resonansi negatif yang akan kembali kepada pelaku, baik dalam bentuk penderitaan batin maupun konsekuensi yang melampaui kehidupan ini.

Dari perspektif pembangunan, “korupsi menghambat efisiensi alokasi sumber daya dan memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang” (World Bank, 2021). Anggaran yang seharusnya membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik teralihkan ke rekening pribadi. Pembangunan menjadi tambal sulam, tidak optimal, dan sering kali hanya kosmetik. Negara kehilangan kesempatan emas untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya.

Menjadi koruptor mungkin memberi keuntungan materi jangka pendek, tetapi kerugian jangka panjangnya jauh lebih besar. “Keuntungan finansial yang diperoleh dari korupsi bersifat sementara, sedangkan kerusakan moral, sosial, dan ekonomi bersifat sistemik” (Rose-Ackerman & Palifka, 2016). Korupsi adalah racun yang bekerja perlahan, membius pelakunya dengan rasa aman semu, menciptakan kekeruhan batin yang tak disadari, hingga akhirnya sangat mungkin menjerumuskan mereka ke jurang kehancuran hukum dan reputasi.

Dan pada akhirnya, di hadapan cermin yang jujur, setiap manusia akan melihat bahwa emas yang digenggam dengan tangan kotor hanyalah debu yang menunggu waktu untuk terbang. Kekayaan yang lahir dari pengkhianatan akan meninggalkan jejak pahit di hati, bahkan setelah tubuh terkubur. Sebab yang abadi bukanlah jumlah di rekening, melainkan jejak kebaikan yang kita tanam di tanah kehidupan. Menjadi koruptor adalah memilih jalan yang mungkin tampak untung di mata dunia, tetapi rugi di mata sejarah dan nurani.

Referensi:
• Transparency International. (2024). Corruption perceptions index 2024. Transparency International.
• Suryanto, A. (2022). Ekonomi rente dan dampaknya terhadap pembangunan nasional. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 13(2), 145–160.
• Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Laporan tahunan pemberantasan korupsi 2023. KPK RI.
• Bandura, A. (2016). Moral disengagement: How people do harm and live with themselves. Worth Publishers.
• Tolle, E. (2005). A new earth: Awakening to your life’s purpose. Penguin Group.
• World Bank. (2021). The impact of corruption on economic growth. World Bank Publications.
• Rose-Ackerman, S., & Palifka, B. J. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). Cambridge University Press.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID