Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 11 September 2025
Di tepi sunyi kesadaran, manusia sering berdiri di persimpangan antara menggenggam dan melepaskan. Letting go, dalam napas spiritual yang sejati, bukanlah membuang apa yang tak kita sukai, bukan pula menutup pintu bagi kesedihan. Ia adalah tarian hening antara hati dan kenyataan; sebuah pelukan pada segala yang hadir, tanpa penolakan, tanpa perlawanan. "Penolakan dan perlawanan adalah akar dari penderitaan batin" (Gunawan, 2020). Rasa sakit adalah hujan yang tak bisa kita hentikan, namun penderitaan adalah badai yang kita ciptakan sendiri dengan menolak basahnya. Rasa sakit itu alami, tapi penderitaan itu ciptaan. Ketika rasa sakit datang, kita selalu memiliki opsi untuk melawan atau menghadapi dan menerima dengan kejelasan dan keluasan. Sikap batin yang melawan rasa sakit lah yang menciptakan penderitaan. Penerimaan dengan kejelasan dan keluasan adalah pembebasan.
Dalam perspektif psikologi kontemplatif, letting go justru berarti letting in; membiarkan segala pengalaman, baik manis maupun getir, masuk dan mengalir tanpa hambatan; baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi. "Menerima pengalaman apa adanya dapat mengurangi distress psikologis dan meningkatkan kesejahteraan subjektif" (Hayes et al., 2011). Penerimaan ini bukan pasrah tanpa daya, melainkan kesadaran aktif bahwa setiap emosi adalah tamu yang datang dan pergi.
Ajaran-ajaran spiritualisme menempatkan letting go sebagai inti dari pembebasan batin. "Keterikatan (pengejaran) dan penolakan adalah dua sisi mata uang yang sama, keduanya mengikat jiwa pada lingkaran samsara" (Rahula, 2014). Dengan membiarkan segala sesuatu hadir tanpa upaya menghindar atau mengejar, seseorang membebaskan diri dari siklus penderitaan yang lahir dari kelekatan.
Dalam tradisi sufisme, letting go dipandang sebagai bentuk tawakal yang murni. "Menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Ilahi berarti menerima segala yang terjadi sebagai bagian dari rencana yang lebih besar" (Nasr, 2007). Di sini, letting in adalah membuka hati untuk melihat hikmah di balik setiap peristiwa, bahkan yang tampak sebagai luka. Dalam tradisi Jawa disebut dengan “Nrimo kanthi eling”; sebuah sikap batin yang Ikhlas dan ridho yang disertai dengan jelas dan terangnya pengertian, dengan kedalaman dan keluasan hati.
Letting go yang sejati bukanlah tindakan menghapus atau melupakan, melainkan keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen, tanpa syarat. Ia adalah seni membiarkan hidup mengalir melalui kita, tanpa kita menjadi tawanan dari arusnya. "Ketika kita berhenti melawan, kita menemukan kedamaian yang tak tergoyahkan" (Kabat-Zinn, 2013). Dengan demikian, letting go adalah jalan pulang menuju kebebasan batin yang tak tergantung pada keadaan luar.
Pada akhirnya, hidup adalah sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Kita bisa memilih untuk terus melawan arusnya, atau meringankan hati dan mengapung, menyatu dengan aliran semesta. Letting go sebagai letting in adalah undangan untuk menanggalkan baju besi perlawanan, dan membiarkan setiap titik air kehidupan menyentuh, meresapi jiwa kita. Di sanalah, dalam pelukan arus yang kita terima tanpa syarat, kita menemukan bahwa kebebasan sejati bukanlah di ujung sungai, melainkan di setiap tetes pengalaman yang kita izinkan mengalir melewati hati; dengan seterang-terangnya pemahaman meluaskan hati atas apa yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi
------SELESAI------
Referensi:
• Gunawan, A. (2020). Penerimaan diri dan kebahagiaan: Perspektif psikologi positif. Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 123–135.
• Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (2011). Acceptance and commitment therapy: The process and practice of mindful change (2nd ed.). Guilford Press.
• Kabat-Zinn, J. (2013). Full catastrophe living: Using the wisdom of your body and mind to face stress, pain, and illness (Revised ed.). Bantam Books.
• Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.
• Rahula, W. (2014). What the Buddha taught. Grove Press.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Social Header