Breaking News

PENJAJAHAN OLEH BANGSA SENDIRI YANG TAK KUNJUNG USAI


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 2 Agustus 2025.
Di antara denting lonceng sejarah yang abadi, bangsa Indonesia kembali bersiap merayakan detik-detik sakral kemerdekaan. Kita mengingat pekik para pahlawan, tetesan darah yang membasahi bumi pertiwi, dan semangat membara yang membebaskan raga dari belenggu penjajahan. Dahulu, musuh itu berwujud nyata, datang dari seberang lautan, dengan moncong senjata dan seragam asing yang gagah. Ia adalah entitas asing yang menginjak-injak kedaulatan, "sebuah kekuatan eksternal yang memaksakan kehendak dan merampas sumber daya" (Ricklefs, 2008). Namun, seiring berjalannya waktu, ketika bendera Merah Putih berkibar di setiap tiang, pertempuran sejati ternyata tidak pernah usai. Musuh itu kini tidak lagi datang dari luar, melainkan bersembunyi dalam selimut, berkulit dan berwajah yang sama dengan kita, menusuk dan menginjak-injak dari dalam.

Musuh baru bangsa ini, yang jauh lebih licik dan merusak, adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika dulu penjajah menjarah kekayaan alam, kini KKN melenyapkan aset-aset negara secara sistematis dan terstruktur. "Korupsi adalah virus sosial yang menggerogoti pondasi moral dan ekonomi bangsa, menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakpercayaan publik" (Transparency International, 2024). Tindakan ini tidak hanya menghambat pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik, tetapi juga merusak mentalitas kolektif, menumbuhkan budaya permisif dan apatis terhadap ketidakadilan.

Lebih jauh, praktik KKN menciptakan sistem yang membusuk dari dalam, di mana meritokrasi digantikan oleh kronisme. "Kolusi dan nepotisme adalah manifestasi dari kegagalan institusi, di mana kepentingan pribadi dan kelompok mengalahkan kepentingan publik" (Asian Development Bank, 2017). Posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, perusahaan negara, dan lembaga-lembaga vital diisi bukan berdasarkan kompetensi, melainkan berdasarkan hubungan kekeluargaan atau pertemanan. Hal ini mengakibatkan inefisiensi, hilangnya inovasi, dan hilangnya kesempatan bagi individu-individu yang kompeten namun tidak memiliki akses.

Dampak dari musuh internal ini jauh melampaui kerugian finansial semata. Ia merusak semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Jika dahulu musuh asing menyatukan kita dalam perjuangan, kini KKN memecah belah kita, menciptakan jurang yang dalam antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkuasa dan yang terpinggirkan. "Ketidakadilan yang terstruktur akibat KKN merusak kontrak sosial antara negara dan warga negara" (Fukuyama, 2011). Rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem dan pemimpinnya, yang pada gilirannya mengancam stabilitas dan keberlangsungan demokrasi.

Kemerdekaan sejati bukan hanya tentang deklarasi kedaulatan dari pihak asing, melainkan "perjuangan tiada henti untuk membebaskan diri dari belenggu internal yang mengkhianati cita-cita luhur pendiri bangsa" (Hatta, 1957). KKN adalah penjajahan modern yang dilakukan oleh bangsa sendiri, yang jauh lebih berbahaya karena ia merusak dari dalam, menipu dengan wajah yang familiar, dan melemahkan pondasi moral yang rapuh.

Maka, mari kita memahami, bahwa kibaran Merah Putih yang gagah di angkasa adalah simbol sebuah pertempuran yang belum selesai. Ia adalah janji sekaligus pengingat bahwa musuh terbesar kita bukanlah lagi dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri: dari keserakahan, dari mentalitas koruptif, dari keengganan untuk bertindak adil. Ini adalah ajakan untuk berperang melawan bayangan diri kita yang terburuk, "sebuah perjuangan abadi yang menuntut keberanian untuk menatap cermin dan membersihkan noda-noda yang melekat" (Jung, 1968). Kemerdekaan sejati akan terwujud ketika jiwa-jiwa kita, satu per satu, bebas dari belenggu korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di sanalah, dalam keutuhan moral, kita akan menemukan makna sejati dari sebuah negara yang benar-benar merdeka.


Referensi:
• Asian Development Bank. (2017). Corruption and Governance in Asia. Asian Development Bank.
• Fukuyama, F. (2011). The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution. Farrar, Straus and Giroux.
• Hatta, M. (1957). Kumpulan Pidato Bung Hatta: Indonesia Merdeka dan Demokrasi. Pustaka Antara.
• Jung, C. G. (1968). Man and His Symbols. Dell Publishing.
• Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press.
• Transparency International. (2024). Corruption Perceptions Index 2023: Indonesia. Transparency International.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID