Breaking News

JURANG ANTARA ANGKA DAN MANUSIA DALAM EKONOMI

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 14 Agustus 2025.
Di antara deru mesin ekonomi dan denting grafik pertumbuhan, ada suara pelan yang nyaris tenggelam: suara hati manusia. Dunia ekonomi bergerak cepat, mengejar efisiensi, memuja pertumbuhan, dan menyanjung pengembalian bagi pemegang saham. Namun, di balik angka-angka itu, ada wajah-wajah yang menunggu keadilan, tangan-tangan yang berharap kepercayaan, dan jiwa-jiwa yang merindukan tanggung jawab. “Nilai ekonomi adalah logika sistem, nilai manusia adalah denyut kehidupan,” tulis Sandel (2012), mengingatkan bahwa tidak semua yang berharga bisa dihitung, dan tidak semua yang bisa dihitung itu berharga.

Angka ekonomi dibangun atas fondasi rasionalitas: efisiensi, pertumbuhan, dan laba. Dalam sistem ini, waktu adalah biaya, dan manusia adalah sumber daya. “Efisiensi adalah prinsip utama dalam logika ekonomi, di mana hasil maksimal dicapai dengan input minimal,” ujar Porter & Kramer (2011). Namun, ketika efisiensi menjadi satu-satunya kompas, kita kehilangan arah menuju keadilan. Pertumbuhan yang tidak inklusif menciptakan jurang, bukan jembatan. Maka, nilai ekonomi harus ditimbang ulang, bukan ditolak, tetapi disandingkan dengan nilai manusia. Sebab, hidup bukan hanya untuk mengejar angka, tapi juga tentang menelusuri alur rasa.

Nilai manusia berbicara tentang martabat, kepercayaan, keadilan, tanggung jawab, dan ketahanan. Ia tidak bergerak secepat angka ekonomi, tetapi ia bertahan lebih lama. “Kepercayaan adalah modal sosial yang tidak bisa dibeli, tetapi harus dibangun,” tulis Fukuyama (1995). Dalam dunia yang semakin kompleks, kepercayaan menjadi fondasi relasi yang sehat antara perusahaan dan masyarakat. Keadilan bukan sekadar distribusi, tetapi pengakuan atas martabat. Tanggung jawab bukan hanya soal hukum, tetapi soal nurani.

Ketika perusahaan hanya mengejar angka ekonomi, ia berisiko kehilangan legitimasi sosial. “Perusahaan yang tidak mengintegrasikan nilai manusia dalam operasionalnya akan menghadapi krisis kepercayaan,” kata Freeman et al. (2020). Maka, integrasi antara nilai ekonomi dan nilai manusia bukanlah pilihan moral semata, tetapi strategi keberlanjutan. Resiliensi organisasi tidak dibangun dari laba semata, tetapi dari kemampuan untuk bertahan dalam krisis dengan tetap menjaga martabat manusia.

Konklusinya, dunia bisnis tidak harus memilih antara nilai ekonomi dan nilai manusia. Ia harus belajar menyandingkan keduanya. “Pertumbuhan yang berakar pada nilai manusia akan lebih tahan lama dan lebih bermakna,” tulis Sen (1999). Efisiensi tanpa empati adalah kekejaman. Laba tanpa keadilan adalah kejahatan. Maka, perusahaan masa depan adalah mereka yang mampu menyeimbangkan logika dan nurani, angka dan makna, sistem dan jiwa.

Di tengah pusaran kapitalisme yang tak henti berputar, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi roda yang terus berputar tanpa arah, atau menjadi cahaya kecil yang menerangi jalan baru. Mungkin, di celah antara efisiensi dan keadilan, kita menemukan ruang untuk menjadi lebih manusiawi. Di sanalah, nilai sejati perusahaan diuji—bukan di laporan keuangan, tetapi di hati mereka yang terdampak.

Referensi: 
• Sandel, M. J. (2012). What Money Can't Buy: The Moral Limits of Markets. Farrar, Straus and Giroux.
• Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2011). “Creating Shared Value.” Harvard Business Review, 89(1/2), 62–77.
• Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Free Press.
• Freeman, R. E., Harrison, J. S., & Wicks, A. C. (2020). Stakeholder Theory: The State of the Art. Cambridge University Press.
• Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID