Breaking News

ANTROPOSENTRISME: ILUSI KEBESARAN DI ATAS DEBU KOSMIS


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 6 Agustus 2025.
Di antara bentang alam semesta yang tak terbatas, kita berdiri di atas setitik debu kosmis bernama Bumi. Dalam konstelasi galaksi-galaksi, Bumi kita ini, tak terlihat. Jika debu kosmis bernama Bumi ini meletus dan hilang pun, bisa dikatakan “tak berpengaruh” terhadap struktur alam semesta. Ia bagai sebutir pasir yang berada di dalam dinding beton pembentuk struktur bangunan rumah. Namun, di sanalah, jutaan tahun evolusi menumbuhkan kita, jasad renik yang kemudian menamai diri "manusia." Kita merayap, tumbuh, dan berbiak di permukaan debu ini, lantas dengan congkaknya mendeklarasikan diri sebagai pusat dari segala yang ada. Kita mengira alam raya ini berputar hanya untuk melayani ambisi kita, bahwa bintang-bintang di angkasa diciptakan semata-mata untuk menjadi latar dari kisah kita. Sebuah delusi yang begitu megah, sebuah monolog panjang yang kita yakini sebagai satu-satunya kebenaran. Ini adalah pandangan antroposentris, sebuah cermin yang kita pegang untuk membiaskan realitas.

Pandangan antroposentrisme ini telah berakar kuat, didukung oleh interpretasi-interpretasi yang menempatkan manusia sebagai entitas paling utama. Seperti yang dikemukakan dalam beberapa literatur, "pandangan antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta" dan bahwa "alam diciptakan hanya untuk dan bagi manusia" (Keraf, A.S., 2005). Keyakinan ini tidak hanya memengaruhi cara pandang kita terhadap alam, tetapi juga meresap ke dalam interpretasi spiritual dan keagamaan. Beberapa literatur berpendapat bahwa "penggunaan kata ‘kuasa’ dalam kitab-kitab tertentu telah digunakan untuk membenarkan pandangan dunia antroposentris" (Chuo-U.Repo, 2018), di mana manusia diyakini memiliki hak untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam demi kepentingannya. Hal ini menciptakan ilusi bahwa alam semesta ini, dengan segala keajaiban dan kompleksitasnya, adalah panggung yang disiapkan khusus oleh Tuhan untuk drama manusia. Dalam kerangka ini, kitab-kitab suci, yang seharusnya menjadi pedoman etis bagi mikroba-mikroba yang merayapi debu kosmis ini, disalahkirakan berlaku sebagai konstitusi universal yang mengatur juga galaksi-galaksi yang tak terhitung jumlahnya, tak terkira jaraknya. Hal ini menciptakan ilusi bahwa Tuhan dan seluruh hierarki spiritual hanya sibuk mengawasi dan mengurusi drama kecil yang terjadi di debu kosmis Bumi ini, mengabaikan keluasan ciptaan-Nya yang tak terbayangkan.

Lebih jauh, keangkuhan antroposentrisme juga merasuk ke dalam jiwa saintifik kita. Segala capaian ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita banggakan, dari penjelajahan luar angkasa hingga penemuan mikroba di dasar laut, kita anggap sebagai puncak peradaban yang paling maju. Padahal, jika disandingkan dengan skala kosmik, semua itu hanyalah langkah-langkah bayi dari seekor "mikroba" yang baru saja belajar merayap. "Kesombongan dan keangkuhan dapat menghalangi perkembangan dan pertumbuhan spiritual" (Nasution, K., 2023), yang mana ini mengacu pada kerendahan hati bahwa pengetahuan yang kita miliki hanyalah setitik cahaya di tengah samudra kegelapan. Alih-alih merasa paling pintar, seharusnya setiap penemuan baru menuntun kita pada kesadaran akan betapa tidak signifikannya kita di hadapan alam semesta.

Sebagai konklusi, Bumi hanyalah sebutir debu di rumahtangga dan pekarangan semesta tak terbatas ini, dan manusia hanyalah mikroba-mikroba yang merayapinya. Maka, pandangan antroposentrisme adalah sebuah kesalahan fundamental yang membatasi pemahaman kita tentang realitas. Ia adalah belenggu yang membuat kita buta akan posisi kita yang sebenarnya, yaitu sebagai bagian kecil dan rentan dari sebuah ekosistem kosmik yang jauh lebih besar. Tugas kita bukanlah untuk menjadi pusat, melainkan untuk menyadari bahwa kita adalah bagian yang tak terpisahkan—dan tak lebih mulia—dari jaringan kehidupan yang luas ini.

Maka, mari kita singkirkan cermin antroposentrisme yang telah lama kita pegang dan bangga-banggakan. Saatnya merunduk, menunduk, bukan untuk menyerah, melainkan untuk melihat diri kita apa adanya: seonggok jasad renik yang merayapi debu. Di dalam kerendahan hati itulah, kita mungkin akan menemukan keindahan yang sejati. Kita bukan pusat, melainkan sebuah denyut kecil dalam detak jantung alam semesta yang tak bertepi. Dan di sana, di tengah-tengah keluasan yang mengintimidasi, kita akan menemukan makna yang lebih dalam dari sekadar ilusi kebesaran yang kita ciptakan sendiri.

Referensi:
• Chuo-U.Repo. (2018). Is Judeo-Christian Anthropocentrism Responsible for the Degradation of Global Environment?: Nomadic Pastoralism as the Origin. Retrieved from https://chuo-u.repo.nii.ac.jp/record/2000147/files/0453-4778_63_5_09.pdf
• Keraf, A.S. (2005). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
• Nasution, K. (2023). Tentang Tuhan Manusia Masa Kini. Perpustakaan UNIDA Gontor. Retrieved from https://library.unida.gontor.ac.id/tuhan-manusia-masa-kini/
• Tirto.id. (2019). Teori Fungsionalisme Dalam Sosiologi: Pengertian dan Asalnya. Retrieved from https://tirto.id/apa-pengertian-teori-fungsionalisme-dalam-sosiologi-gikG
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID