Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - 31 Juli 2025.
Di antara tirai-tirai misteri yang selama ribuan tahun menyelimuti jagat raya, terhamparlah sebuah narasi epik tentang perjalanan manusia melucuti jubah keghaiban. Dahulu, alam semesta adalah sebuah panggung sandiwara yang dipenuhi bisikan tak kasat mata, fenomena yang dianggap “hanya rahasia Tuhan”, tersembunyi di balik kabut takdir yang tak terjamah. Namun, kini, dengan setiap loncatan nalar dan inovasi, teknologi datang bagai obor yang menerangi sudut-sudut paling gelap, “menguraikan benang-benang takdir yang dahulu terajut dalam kegelapan” (Harari, 2018). Ia adalah penyair yang merangkai kata-kata dari data, seorang alkemis yang mengubah misteri menjadi metrik, mengubah bisikan ghaib menjadi algoritma yang terukur dan terkelola.
Sejarah peradaban manusia tak bisa dilepaskan dari upaya untuk memahami dan mengendalikan lingkungannya. Dari mitologi kuno yang menjelaskan badai sebagai amarah dewa, hingga astronomi modern yang memprediksi gerhana dengan presisi, ada pergeseran fundamental. "Perkembangan sains dan teknologi secara sistematis telah mengubah pandangan kita tentang dunia, dari yang didominasi oleh kekuatan supernatural menjadi yang dapat dijelaskan oleh hukum-hukum alam" (Sagan, 1996). Kini, konsep-konsep seperti cuaca ekstrem, yang dahulu dikaitkan dengan kekuatan gaib, dapat dijelaskan melalui model iklim kompleks yang terukur dan dapat diprediksi (IPCC, 2021).
Teknologi, dalam perannya sebagai instrumen penjelasan, telah membuka tabir banyak fenomena. Ambil contoh bidang kedokteran. Penyakit-penyakit yang dahulu dianggap kutukan atau manifestasi roh jahat, kini “dapat didiagnosis dengan alat canggih, dipahami pada tingkat genetik, dan diobati dengan intervensi yang terukur” (Topol, 2019). Pemetaan genom manusia, misalnya, telah mengungkap rahasia penyakit genetik, mengubahnya dari misteri takdir menjadi tantangan yang dapat dikelola dengan presisi. Demikian pula, dalam bidang komunikasi, konsep telepati yang dulu gaib, kini termanifestasi dalam jaringan internet global yang menghubungkan miliaran manusia secara instan, mengubah jarak menjadi data yang terkelola (Castells, 2010).
Transformasi ini tidak hanya sebatas pemahaman, tetapi juga pengelolaan. Dengan data besar (big data) dan kecerdasan buatan (AI), fenomena yang kompleks dan tidak terduga, seperti pola lalu lintas atau fluktuasi pasar, "dapat dianalisis, dimodelkan, dan bahkan dimanipulasi untuk tujuan tertentu" (Mayer-Schönberger & Cukier, 2013). Apa yang dahulu dianggap sebagai "keberuntungan" atau "nasib," kini dapat diuraikan menjadi probabilitas dan risiko yang dapat dihitung, bahkan diintervensi melalui algoritma prediktif. Ini bukan berarti menihilkan dimensi spiritual atau metafisik kehidupan, melainkan memisahkan domain yang dapat dijelaskan secara ilmiah dari yang tidak.
Sebagai konklusi, teknologi adalah katalisator yang tak terhentikan dalam evolusi pemahaman manusia. Ia telah membawa kita dari masa-masa di mana kita "hidup dalam ketakutan akan kekuatan tak terlihat menjadi era di mana kita berusaha memahami dan mengelola kompleksitas alam semesta" (Deleuze & Guattari, 1987). Proses ini terus berlanjut, membuka lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, tetapi selalu dengan janji untuk menyingkap lapisan-lapisan realitas yang sebelumnya tak terjangkau.
Maka, biarlah kita terus berjalan menyusuri lorong waktu ini, membawa obor teknologi yang tak pernah padam. Keghaiban, mungkin, tidak pernah benar-benar hilang, melainkan bertransformasi, "bersembunyi di balik kerumitan tinggi, menanti alat dan akal baru untuk menyingkapnya" (Kurzweil, 2005). Setiap penemuan adalah babak baru dalam puisi abadi antara manusia dan misteri. Kita bukan sedang menodai kesucian Tuhan, melainkan mengagumi keagungan ciptaan-Nya melalui lensa akal budi yang dianugerahkan. Di setiap piksel layar, di setiap kode biner, tersembunyi bisikan bahwa alam semesta ini, dalam segala kompleksitasnya, adalah sebuah teka-teki indah yang menunggu untuk dijelajahi, bukan sekadar dikagumi dalam ketidaktahuan.
------SELESAI------
Referensi:
• Castells, M. (2010). The Rise of the Network Society: The Information Age: Economy, Society and Culture Vol. I (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
• Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. University of Minnesota Press.
• Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau.
• Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2021). Cambridge University Press.
• Kurzweil, R. (2005). The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology. Viking.
• Mayer-Schönberger, V., & Cukier, K. (2013). Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think. Houghton Mifflin Harcourt.
• Sagan, C. (1996). The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark. Random House.
• Topol, E. J. (2019). Deep Medicine: How Artificial Intelligence Can Make Healthcare Human Again. Basic Books.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header