Breaking News

SEBAGAIMANA ATAS-BAWAH, BAIK-BURUK ADALAH KONSTRUKSI RELATIF, BUKAN REALITAS ABSOLUT


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 28 Juli 2025.
Di setiap langkah kita di bumi ini, di setiap helaan napas yang terikat pada gravitasi, kita terbiasa dengan dikotomi yang tak tergoyahkan: atas dan bawah. Kita membangun menara yang menjulang ke "atas", dan mengubur rahasia di "bawah", seolah-olah arah adalah kebenaran mutlak yang terukir di kanvas kosmos. Demikian pula, di setiap interaksi, di setiap pilihan, kita melabeli "baik" atau "buruk", seolah-olah moralitas adalah kompas universal yang menunjuk pada kebenaran abadi. Namun, di balik keyakinan yang mengakar ini, tersembunyi sebuah bisikan dari alam semesta yang luas: bahwa atas-bawah adalah persepsi atas ruang terbatas. Sebab di dalam kosmos, atas-bawah tidak ada. Demikian juga dengan baik-buruk. Ia adalah hasil persepsi atas interaksi di keterbatasan dimensi fisik dengan segala fenomena dan kebutuhannya. Ini adalah tarian ilusi yang menantang pemahaman kita tentang realitas, sebuah drama agung tentang bagaimana keberadaan kita yang terikat pada fisik membentuk lensa pandang kita.

Konsep "atas" dan "bawah" yang kita pahami sehari-hari adalah murni produk dari pengalaman kita di planet bumi ini yang memiliki gravitasi. "Di dalam hamparan kosmos yang tak terbatas, di mana tidak ada medan gravitasi dominan yang seragam, konsep 'atas' dan 'bawah' adalah ilusi yang terikat pada gravitasi sebuah planet. Di luar pengaruh gravitasi benda langit, tidak ada arah absolut yang dapat didefinisikan sebagai atas atau bawah; orientasi sepenuhnya relatif terhadap pengamat," (Hawking, 1988). Seorang astronot di luar angkasa akan menemukan bahwa orientasi "atas" atau "bawah"nya berubah tergantung pada posisi tubuhnya relatif terhadap pesawat ruang angkasa atau objek lain. Ini menunjukkan bahwa dikotomi spasial ini bukanlah sifat intrinsik alam semesta, melainkan sebuah konstruksi perseptual yang relevan hanya dalam konteks gravitasi lokal.

Demikian pula, dikotomi "baik" dan "buruk" seringkali merupakan hasil dari persepsi kita atas interaksi di keterbatasan dimensi fisik dan kebutuhan biologis serta sosial kita. "Nilai-nilai moral seringkali berevolusi sebagai respons terhadap kebutuhan adaptif dan kohesif dalam komunitas manusia, membentuk norma-norma yang memfasilitasi kelangsungan hidup dan kesejahteraan kelompok," (Haidt, 2012). Apa yang kita labeli "baik" adalah tindakan atau kondisi yang mendukung kelangsungan hidup individu dan spesies, reproduksi, serta harmoni sosial dalam komunitas kita. Sebaliknya, apa yang kita sebut "buruk" adalah hal-hal yang mengancam kelangsungan hidup, seperti kekerasan, pengkhianatan, atau kehancuran. Padahal dari sudut pandang kosmos yang tanpa batas ini, bumi hanyalah debu kosmis yang bisa dikatakan “tak terlihat”. Apapun yang terjadi di bumi hanyalah peristiwa alami biasa yang menciptakan dan menjaga siklus kehidupan-kematian di permukaan titik debu kosmis ini, secara intrinsik tidak mengandung baik-buruk.

Dalam arena eksistensi fisik inilah, di mana tubuh kita berinteraksi dengan lingkungan dan sesama, tindakan-tindakan nyata terwujud. "Baik" atau "buruk" kemudian menjadi label yang disematkan pada perilaku-perilaku ini—perilaku yang memiliki konsekuensi konkret dalam dimensi materi. Oleh karena itu, standar moral, etika, dan hukum tidak muncul dari kehampaan, melainkan diciptakan oleh manusia sebagai respons terhadap kebutuhan mendasar untuk menciptakan ketertiban, keadilan, dan kepastian dalam interaksi di dunia fisik. "Hukum dan norma sosial berfungsi sebagai kerangka kerja yang mengatur perilaku individu, memitigasi konflik, dan memastikan kohesi sosial dalam masyarakat yang kompleks," (Durkheim, 1893/1984). Mereka adalah arsitektur tak terlihat yang kita bangun untuk menopang struktur kehidupan bersama, agar tarian eksistensi tidak berubah menjadi kekacauan tanpa batas.

Dari perspektif evolusi, perilaku yang dianggap "baik" seringkali adalah perilaku yang secara adaptif menguntungkan kelangsungan hidup kelompok. "Perilaku altruistik atau kooperatif, yang sering dianggap 'baik', dapat memberikan keuntungan adaptif bagi spesies, memperkuat ikatan sosial dan meningkatkan peluang kelangsungan hidup kolektif, meskipun mungkin tidak langsung menguntungkan individu secara egois," (Dawkins, 1976). Moralitas, dalam pandangan ini, adalah seperangkat aturan yang berkembang untuk mengelola interaksi dalam komunitas, memastikan stabilitas dan keberlanjutan. Oleh karena itu, standar "baik" dan "buruk" sangat kontekstual, bervariasi antarbudaya dan bahkan dalam kelompok yang sama, tergantung pada kebutuhan dan kondisi lingkungan.

Jika kita mampu melampaui batasan persepsi fisik kita, mungkin kita akan menyadari bahwa dikotomi moral yang kita pegang erat hanyalah konstruksi relatif. "Pemahaman yang lebih holistik tentang realitas mungkin menunjukkan bahwa fenomena yang kita kategorikan sebagai 'baik' atau 'burut' adalah bagian dari dinamika yang lebih besar dan netral, yang hanya menjadi bermuatan nilai melalui lensa interpretasi manusia yang terikat pada kebutuhan dan batasan eksistensial," (Wilber, 2000). Ini adalah panggilan untuk melihat melampaui permukaan, untuk memahami bahwa nilai-nilai kita, seperti arah spasial, adalah peta yang kita buat untuk menavigasi dunia yang terbatas, bukan cerminan mutlak dari realitas yang tak terbatas.

Atas-bawah adalah persepsi atas ruang terbatas, sebab di dalam kosmos, atas-bawah tidak ada. Demikian juga dengan baik-buruk; ia adalah hasil persepsi atas interaksi di keterbatasan dimensi fisik dengan segala fenomena dan kebutuhannya, dan standar moral, etika, serta hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban, keadilan, dan kepastian di dimensi fisik ini. Ini berarti bahwa baik arah spasial maupun nilai moral adalah konstruksi kontekstual yang membantu kita berinteraksi dengan dunia, bukan kebenaran universal yang inheren. Maka, di tengah keyakinan kita akan dikotomi yang jelas, terbentanglah sebuah kebebasan yang menakutkan sekaligus membebaskan. Insight terbesar adalah bahwa kebenaran sejati mungkin tidak terletak pada pemisahan yang kaku, melainkan pada pemahaman akan interkoneksi dan relativitas segala sesuatu. Ini adalah undangan untuk merangkul ambiguitas, untuk melihat di balik topeng-topeng persepsi, dan untuk menyadari bahwa di setiap "atas" ada "bawah" yang lain, dan di setiap "baik" ada "buruk" yang hanya menunggu lensa pandang yang berbeda.

Referensi:
• Dawkins, R. (1976). The Selfish Gene. Oxford University Press.
• Durkheim, É. (1984). The Division of Labour in Society (W. D. Halls, Trans.). Free Press. (Original work published 1893)
• Haidt, J. (2012). The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion. Pantheon.
• Hawking, S. (1988). A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes. Bantam Books.
• Wilber, K. (2000). A Theory of Everything: An Integral Vision for Business, Politics, Science, and Spirituality. Shambhala Publications.
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Narasumber : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID