Oleh: Makin Perdana Kusuma
Depok, 17 Juni 2025
Distraksi adalah gangguan yang mengalihkan atau memotong fokus perhatian (Merriem-Webster). Laksana badai yang tak terlihat, di era digital ini manusia seolah terseret dalam pusaran arus "distraksi konstan". Dari denting dan dering notifikasi yang tak henti hingga guliran (scroll) tak berujung di media sosial, membuai kita dalam ilusi keterhubungan yang nyatanya justru memutus konsentrasi yang dapat menurunkan produktifitas. Fenomena ini, yang kian mencengkeram, dapat berkembang menjadi apa yang kita sebut "kecanduan distraksi". Ini adalah kondisi di mana individu merasa gelisah dalam keheningan, tak nyaman tanpa stimulasi terus-menerus, dan kesulitan untuk "fokus" pada satu hal (Killingsworth & Gilbert, 2010). Sebuah drama kognisi dan emosi modern di mana pikiran terfragmentasi, dan ketenangan batin menjadi barang mewah yang sulit ditemukan.
Dari sudut pandang neuroscience, kecanduan distraksi bukanlah sekadar kebiasaan buruk. Otak manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk “mind-wandering”, yaitu berpindah dari satu pikiran ke pikiran lain tanpa arah yang jelas (Killingsworth & Gilbert, 2010). Kecenderungan ini diperparah oleh “dopamin loop” dalam sistem reward otak kita. Setiap kali seseorang beralih ke stimulus baru—misalnya, saat menggulir timeline media sosial, membuka pesan baru, atau menemukan konten yang menarik—otak melepaskan "dopamin", neurotransmitter yang terkait dengan sensasi kesenangan dan motivasi (Klemp, 2019). Pelepasan dopamin yang instan ini menciptakan dorongan kuat untuk terus mencari distraksi berikutnya, membentuk lingkaran yang sulit diputus. Studi juga mengindikasikan bahwa kecanduan distraksi berhubungan dengan peningkatan aktivitas di "amigdala", area otak yang krusial dalam pemrosesan emosi dan respons stres. Akibatnya, individu yang terpapar distraksi berlebihan cenderung lebih rentan terhadap "kecemasan, gangguan tidur, dan penurunan produktivitas" (Bullmore, 2018).
Ketergantungan pada distraksi ini secara fundamental merusak kapasitas individu untuk melakukan “deep work”, yaitu kondisi fokus mendalam dan tanpa gangguan pada satu tugas (Harvard Health, 2020). Akibatnya, mereka yang terbiasa dengan gangguan konstan sering mengalami penurunan rentang perhatian, membuat sulit berkonsentrasi dalam jangka waktu lama. Selain itu, gangguan tidur menjadi masalah umum, karena paparan layar dari gawai elektronik yang berlebihan, terutama sebelum tidur, dapat menghambat produksi "melatonin", hormon kunci yang mengatur siklus tidur-bangun, sehingga menyebabkan insomnia atau kualitas tidur yang buruk (O’Neil, 2018). Yang lebih mengkhawatirkan, individu menjadi memiliki ketergantungan terhadap stimulasi eksternal, merasa tidak nyaman, gelisah, atau bahkan cemas saat berada dalam keheningan atau tanpa akses ke distraksi digital. Ketidakmampuan untuk "sendirian dengan pikiran" menjadi masalah serius yang mengikis kedamaian batin.
Meskipun kecanduan distraksi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap kehidupan modern, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan secara sadar untuk mengurangi dampaknya dan merebut kembali kendali atas fokus. Salah satunya adalah melalui "latihan mindfulness", di mana teknik seperti meditasi dan kesadaran penuh dapat membantu melatih otak untuk lebih hadir di saat ini, meningkatkan kesadaran diri, dan secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap distraksi eksternal. Pendekatan lain yang efektif adalah "penerapan teknik Pomodoro", sebuah metode manajemen waktu yang melibatkan sesi fokus intens selama 25 menit, diikuti dengan istirahat singkat, membantu membangun kembali kemampuan konsentrasi secara bertahap. Terakhir, melakukan "digital detox" secara berkala, atau menetapkan zona bebas gawai (gadget), dapat membantu "mereset" otak dan memulihkan kemampuan alami untuk fokus tanpa gangguan eksternal.
Kecanduan distraksi bukan hanya masalah sederhana tentang kurangnya disiplin; ia adalah “fenomena psikologis kompleks” yang secara fundamental dapat “memengaruhi kesehatan mental dan produktivitas” seseorang. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana "dopamin loop" memengaruhi perilaku pencarian stimulasi, serta dengan menerapkan strategi yang tepat, individu dapat secara proaktif mengurangi ketergantungan mereka terhadap gangguan eksternal. Ini adalah sebuah "perjalanan spiritual modern" untuk menemukan kembali “kedalaman dalam fokus” dan “ketenangan batin” yang telah lama hilang ditelan arus hiruk pikuk dunia digital.
Referensi:
Bullmore, E. (2018). The Inflamed Mind: A Radical New Approach to Depression. Picador.
Harvard Health. (2020). Staying focused in the era of digital distractions.
Killingsworth, M. A., & Gilbert, D. T. (2010). A wandering mind is an unhappy mind. Science, 330(6006), 932.
Klemp, N. (2019). Harvard psychologists reveal the real reason we're all so distracted.
Merriem-Webster
O’Neil, L. (2018). What constant distraction does to your brain.
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header