Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 18 Juni 2025
Laksana patung-patung megah di puncak menara korporasi, direksi seringkali dipandang sebagai entitas rasional yang pasti selalu bergerak hanya demi kepentingan optimal perusahaan semata. Namun, di balik jubah kekuasaan dan citra profesionalisme, tersembunyi kebenaran yang tak terelakkan: “direksi juga manusia”. Mereka tak luput dari godaan, bias, dan kepentingan pribadi. Inilah inti dari “agency problem”, sebuah dilema abadi yang menghantui dunia bisnis, di mana kepentingan agen (direksi dan manajemen) dapat menyimpang dari kepentingan prinsipal (pemegang saham). Ini adalah “drama internal” yang senyap, dimainkan di ruang-ruang rapat megah berpendingin, di mana motivasi tersembunyi dapat mengikis fondasi kepercayaan dan integritas.
“Agency problem” adalah konflik kepentingan yang muncul ketika satu pihak (agen) bertindak atas nama pihak lain (prinsipal), tetapi memiliki tujuan atau insentif yang berbeda (Jensen & Meckling, 1976). Dalam konteks korporasi, pemegang saham (prinsipal) memiliki tujuan utama memaksimalkan nilai perusahaan dan keuntungan, sementara direksi dan manajemen (agen) mungkin memiliki insentif untuk memaksimalkan kompensasi pribadi, keamanan jabatan, atau membangun imperium korporasi tanpa mempertimbangkan efisiensi modal. Konflik ini dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, menciptakan “biaya agensi” (agency costs) yang mengurangi nilai perusahaan bagi pemegang saham.
Salah satu bentuk nyata dari agency problem adalah ketika direksi cenderung mengambil “keputusan yang berorientasi jangka pendek” demi memenuhi target bonus atau menjaga citra di mata publik, alih-alih berinvestasi pada strategi jangka panjang yang mungkin lebih berisiko namun berpotensi memberikan keuntungan lebih besar di masa depan (Dechow et al., 1996). Praktik “kompensasi eksekutif yang berlebihan” juga menjadi sorotan; meskipun perusahaan merugi, direksi seringkali tetap menerima bonus besar, menciptakan jurang pemisah yang lebar antara kinerja perusahaan dan imbalan pribadi (Bebchuk & Fried, 2004).
Di Indonesia, isu “kebijakan kompensasi dan bonus direksi” BUMN sering menjadi perdebatan publik, terutama terkait dengan “kesenjangan gaji” dan “korelasi dengan kinerja perusahaan”. Berbagai laporan media menunjukkan bahwa gaji dan bonus direksi BUMN, seperti Pertamina, Bank Mandiri, BRI, atau BNI, dapat mencapai miliaran Rupiah per tahun (Tuwaga.id, 2025; Gajimu.com, 2024). Misalnya, pada tahun 2023, kompensasi direksi Pertamina disebut mencapai puluhan miliar Rupiah per direksi setiap tahunnya. Meskipun besaran kompensasi ini seringkali dikaitkan dengan ukuran dan kompleksitas perusahaan, kritik muncul ketika “gaji fantastis ini tidak selaras dengan kinerja perusahaan yang belum optimal” atau di tengah kondisi ekonomi makro yang menantang (Jadibumn.id, 2024). Ada pula kekhawatiran mengenai “transparansi” dalam penetapan dan pengungkapan kompensasi tersebut, yang dapat menghambat pengawasan publik dan pemegang saham (Jadibumn.id, 2024). Menteri BUMN Erick Thohir sendiri sempat merombak aturan bonus direksi BUMN, salah satunya dengan skema pencicilan bonus, untuk memastikan bonus benar-benar mencerminkan kinerja jangka panjang dan mencegah “pemolesan laporan keuangan” (Liputan6.com, 2023).
Selain itu, sifat manusiawi direksi juga memunculkan “bias kognitif” dan “pencarian kekuasaan”. Misalnya, “bias overconfidence” dapat membuat direksi terlalu percaya diri pada keputusan mereka, mengabaikan sinyal peringatan atau saran dari pihak lain, yang berujung pada investasi yang buruk (Malmendier & Tate, 2008). Hasrat untuk memperluas “imperium korporasi” melalui merger dan akuisisi yang tidak strategis, seringkali didorong oleh keinginan direksi untuk meningkatkan ukuran dan kompleksitas perusahaan di bawah kendali mereka, yang pada gilirannya dapat meningkatkan status dan kompensasi mereka, bukan keuntungan pemegang saham (Roll, 1986). Ini adalah manifestasi dari “konflik kepentingan tersembunyi”.
Untuk memitigasi agency problem, berbagai mekanisme tata kelola perusahaan (corporate governance) diterapkan. Ini termasuk “struktur dewan direksi yang independen”, di mana sebagian besar anggota dewan tidak memiliki hubungan langsung dengan manajemen, sehingga dapat mengawasi dengan lebih objektif (Fama & Jensen, 1983). “Sistem kompensasi berbasis kinerja” yang mengaitkan bonus direksi dengan performa jangka panjang saham perusahaan juga dirancang untuk menyelaraskan kepentingan agen dengan prinsipal. Selain itu, “audit eksternal yang ketat”, “keterbukaan informasi”, dan “mekanisme perlindungan pemegang saham minoritas” juga berperan penting dalam mengurangi ruang gerak untuk penyimpangan.
Pada akhirnya, kesadaran bahwa “direksi juga manusia” adalah kunci untuk membangun sistem tata kelola yang lebih kokoh dan realistis. Agency problem adalah sebuah “tantangan inheren” dalam setiap struktur keagenan, sebuah gema abadi dari sifat manusia itu sendiri. Ini adalah drama yang tak pernah usai, menuntut kewaspadaan konstan dari para pemegang saham dan mekanisme pengawasan yang efektif. Dengan “pemahaman yang jernih dan sistem yang adaptif”, dapat dilakukan proses secara berkesinambungan untuk menyelaraskan kepentingan, mengurangi potensi konflik, dan membangun kepercayaan. Sebab, hanya dengan mengakui kerentanan manusia di balik posisi kekuasaan, kita dapat membangun fondasi korporasi yang lebih “adil, transparan, dan berkelanjutan”, bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam praktik nyata. Demi kebaikan semua.
------SELESAI------
Referensi:
Bebchuk, L. A., & Fried, J. M. (2004). Pay without Performance: The Unfulfilled Promise of Executive Compensation. Harvard University1 Press.
Dechow, P. M., Sloan, R. G., & Sweeney, A. P. (1996). Causes and consequences of earnings manipulation: An analysis of firms subject to enforcement actions by the SEC. Contemporary2 Accounting Research, 13(1), 1-36.
Fama, E. F., & Jensen, M.3 C. (1983). Separation of ownership and control. Journal of Law and Economics, 26(2), 301-325.
Gajimu.com. (2024, September 19). Daftar Gaji Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Jadibumn.id. (2024, July 21). Gaji Dirut Pertamina Per Bulan.
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.
Liputan6.com. (2023, August 1). Erick Thohir Rombak Aturan Bonus Direksi BUMN, Tak Mau Laporan Keuangan Dipoles.
Malmendier, U., & Tate, G. (2008). Who makes acquisitions? CEO overconfidence and the market's reaction. Journal of Financial Economics,4 89(1), 20-43.
Roll, R. (1986). The Hubris Hypothesis of Corporate Takeovers. The Journal of Business, 59(2), 197-216.
Tuwaga.id. (2025, February 27). Gaji Direksi BUMN Gede Banget, Tapi Kok Masih Ada yang Nakal?.
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header