Breaking News

“URIP IKU URUP”: JANGAN TAKUT PADA KEMATIAN, TAKUTLAH PADA HIDUP YANG TAK HIDUP

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 11 Oktober 2025.
Di antara bayang-bayang waktu dan desir napas yang tak terdengar, manusia sering kali berdiri di ambang hidup yang belum dijalani. Marcus Aurelius, filsuf dan kaisar Romawi, menyuarakan gema yang tak lekang oleh zaman: “It is not death that a man should fear, but he should fear never beginning to live.” Kematian bukanlah musuh sejati; musuh yang lebih halus dan berbahaya adalah hidup yang tertunda, jiwa yang tak pernah menyala, hati yang buta dan tuli terhadap tembang-tembang kehidupan, keberanian yang tak pernah bangkit. Dalam lorong-lorong rutinitas, banyak yang berjalan tanpa benar-benar melangkah, bernapas tanpa benar-benar hidup. Hidup bukan sekadar eksistensi, melainkan kepekaan untuk merasakan, keberanian untuk memilih, dan kejelian untuk memaknai.

“Ketakutan terhadap kematian sering kali menutupi ketakutan yang lebih dalam: ketakutan untuk hidup sepenuhnya.” (Yusuf, 2023). Dalam studi psikologi eksistensial, manusia cenderung menghindari risiko demi kenyamanan, padahal kenyamanan yang stagnan bisa menjadi penjara batin. “Hidup yang bermakna menuntut keberanian untuk keluar dari zona aman dan menghadapi ketidakpastian.” (Frankl, 2006). Sebab, sebagaimana dalam peribahasa Jawa, “urip iku urup”, hidup ini adalah nyala. Dalam konteks ini, kematian bukanlah akhir yang menakutkan, melainkan cermin yang mengingatkan kita akan pentingnya memulai hidup yang menyala, yang benar-benar hidup.

“Banyak individu menjalani hidup secara mekanis, terjebak dalam rutinitas tanpa refleksi.” (Sutanto, 2024). Fenomena ini dikenal sebagai living in autopilot, di mana manusia menjadi seperti mesin yang bergerak tanpa kesadaran, mengulang hari demi hari tanpa benar-benar hadir. Mereka bangun, bekerja, makan, tidur, namun jiwa mereka tertinggal di belakang, tak ikut serta dalam perjalanan. Dalam dunia yang dipenuhi notifikasi dan target, kita sering lupa bahwa hidup bukan sekadar produktivitas, melainkan kehadiran yang penuh makna. “Kehidupan yang dijalani tanpa kesadaran penuh cenderung kehilangan arah dan makna.” (Kabat-Zinn, 2018). Tanpa refleksi, kita menjadi penumpang dalam hidup sendiri, bukan pengemudi. Kita kehilangan momen-momen kecil yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan: senyum anak di pagi hari, aroma kopi yang baru diseduh, pucuk dedaunan yang berkilau, bunga yang baru mekar, kicau burung di pagi hari, cahaya senja yang menyentuh jendela, atau suara jengkerik pengantar tidur. Memulai hidup yang hidup berarti memulihkan kesadaran itu; menghidupkan kembali rasa ingin tahu, keberanian untuk bertanya, dan kepekaan untuk merasakan. Ia bukan sekadar tindakan besar, tetapi keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam hal-hal kecil yang membentuk jiwa.

“Filsafat Stoik mengajarkan bahwa hidup yang baik bukanlah hidup yang panjang, melainkan hidup yang dijalani dengan kebijaksanaan.” (Hadot, 1995). Marcus Aurelius menekankan pentingnya tindakan yang selaras dengan nilai, bukan sekadar pencapaian eksternal. “Hidup yang bermakna adalah hidup yang dijalani dengan integritas, refleksi, dan kontribusi.” (Goleman, 2022). Dalam dunia yang mengejar kecepatan, kebijaksanaan menjadi revolusi sunyi yang membebaskan.

Kesimpulannya, ketakutan terhadap kematian sering kali menutupi ketakutan yang lebih mendasar: bahwa kita belum benar-benar hidup. “Hidup yang dijalani dengan kesadaran dan keberanian adalah bentuk perlawanan terhadap kefanaan.” (Nugroho, 2025). Maka, tugas kita bukanlah menunda hidup hingga semuanya sempurna, melainkan memulainya sekarang, dengan segala ketidaksempurnaan, keraguan, dan harapan.

Dan kini, saat fajar menyentuh jendela jiwa, mari kita bertanya: apakah kita sudah mulai hidup, atau hanya menunggu hidup dimulai? Hidup bukanlah janji masa depan, melainkan nyala saat ini. Ia menuntut keberanian untuk hadir, untuk memilih, dan untuk mencintai. Dalam setiap detik yang kita miliki, ada undangan untuk hidup lebih dalam, lebih jujur, lebih bermakna. Karena yang patut ditakuti bukanlah kematian, melainkan hidup yang tak pernah benar-benar hidup, yang tak menyala. Dan, hanya hidup yang telah menyala yang mampu memberi terang pada dunia.

Referensi:
• Yusuf, R. (2023). Psikologi Ketakutan dan Eksistensi. Jurnal Psikologi Indonesia, 18(2), 112–125.
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Sutanto, A. (2024). Fenomena Autopilot dalam Kehidupan Modern. Jurnal Filsafat Nusantara, 9(1), 67–80.
• Kabat-Zinn, J. (2018). Mindfulness for Beginners. Sounds True.
• Hadot, P. (1995). Philosophy as a Way of Life. Blackwell Publishing.
• Goleman, D. (2022). Emotional Intelligence and Meaningful Living. Harvard Review of Psychology, 31(3), 210–223.
• Nugroho, B. (2025). Kebijaksanaan dan Keberanian dalam Menjalani Hidup. Jurnal Etika dan Filsafat, 12(1), 33–47.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID