Breaking News

PIKIRAN MANUSIA BISA SAJA MEMBEDAKAN AGAMA, TAPI OTAK MERASAKAN HAL YANG SAMA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 19 Oktober 2025.

Di balik perbedaan nama Tuhan, di antara ragam nama agama, ritual dan bahasa doa, manusia bersatu dalam satu gerak batin: menyentuh keheningan terdalam dan menyerahkan diri kepada Sesuatu yang lebih besar. Seperti sungai yang berbeda namun mengalir menuju samudra yang sama, praktik syukur, doa, keberserahan, meditasi, dan kebajikan dari berbagai agama ternyata menciptakan resonansi yang serupa dalam tubuh dan jiwa. “Doa dan praktik spiritual lintas tradisi keagamaan menghasilkan efek neurobiologis yang mirip, termasuk pelepasan serotonin dan peningkatan aktivitas gelombang alfa.” Serotonin adalah zat kimia otak yang berperan dalam menstabilkan suasana hati, menciptakan rasa tenang, dan memperkuat keseimbangan emosi (Ueda, 2024). Di sana, tubuh menjadi altar, dan kesadaran menjadi nyala yang menyatu dengan semesta.

Syukur secara konsisten berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan emosional dan aktivasi sistem dopamin. Dopamin adalah neurotransmiter yang memicu rasa senang, motivasi, dan penghargaan terhadap pengalaman positif. Ketika manusia mengucap terima kasih, baik kepada Tuhan, alam, atau sesama, otak merespons dengan pelepasan zat kimia yang sama, yang menenangkan dan memperkuat rasa keterhubungan (Calderone et al., 2024). Syukur bukan hanya ekspresi spiritual, tetapi juga mekanisme biologis untuk memperkuat rasa aman dan cinta  (Newberg, 2014). Maka, syukur adalah jembatan antara iman dan sistem saraf.

Doa, sembahyang, sholat, dan keberserahan meningkatkan aktivitas sistem parasimpatis, menurunkan tekanan darah, dan menciptakan rasa damai. Sistem parasimpatis adalah bagian dari sistem saraf otonom yang mengatur relaksasi dan pemulihan tubuh (Ueda, 2024). Keberserahan adalah bentuk pelepasan kontrol yang membuka ruang bagi ketenangan neuro-elektrik. Neuro-elektrik merujuk pada pola gelombang listrik di otak yang berubah sesuai dengan kondisi emosi dan kesadaran (Newberg, 2014). Dalam berbagai agama, keberserahan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang lembut. Maka, doa bukan hanya komunikasi vertikal, tetapi juga terapi horizontal bagi tubuh dan emosi.

Praktik meditatif dari berbagai tradisi, baik dalam bentuk zikir, membaca mantra, samadhi, vipassana, centering prayer, atau kontemplasi, menunjukkan pola gelombang otak yang serupa, yakni Gelombang alfa dan theta; pola aktivitas otak yang muncul saat relaksasi dan meditasi mendalam, yang menandakan kondisi batin yang tenang dan reflektif. Kondisi ini berpengaruh terhadap kadar Kortisol. Kortisol adalah hormon stress. Ia menurun saat seseorang berada dalam kondisi meditative (Calderone et al., 2024). Praktik ritual yang meditatif dari semua agama menciptakan efek neuroplastik yang memperkuat empati dan regulasi emosi. Neuroplastik adalah kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi melalui pengalaman, termasuk praktik spiritual. (Newberg, 2014). Maka, meditasi adalah bahasa universal dari keheningan yang menyembuhkan.

Praktik kebajikan seperti memberi, memaafkan, dan melayani meningkatkan kadar oksitosin dan memperkuat sistem limbik. Oksitosin adalah hormon yang memperkuat ikatan sosial, rasa percaya, dan kasih sayang. Sistem limbik adalah bagian dari otak yang berperan penting dalam pengaturan emosi, motivasi, dan ikatan sosial. Ia mencakup struktur seperti amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal, yang bekerja bersama untuk memproses perasaan seperti cinta, empati, dan kebahagiaan (Calderone et al., 2024). Dalam semua agama, kebajikan bukan hanya moralitas, tetapi juga mekanisme biologis untuk memperkuat jaringan kehidupan. Kebaikan adalah bentuk energi yang mengalir dan memperkuat jaringan kehidupan (Ueda, 2024). Maka, berbuat baik adalah bentuk doa yang bergerak.

Kesimpulannya, meski nama Tuhan, agama, bahasa doa, dan ritual berbeda, praktik spiritual peribadatan semua agama menciptakan efek neurokimiawi dan emosional yang serupa. Spiritualitas adalah jalur biologis dan psikologis menuju keseimbangan dan keterhubungan. (Newberg, 2014). Di sana, tubuh dan jiwa bersatu dalam gerak yang sama: mencari makna, merawat keheningan, dan menyentuh kedalaman.

Dan kini, saat kita menatap ulang perbedaan yang selama ini memisahkan, mari kita bertanya: apakah kita benar-benar berbeda, atau hanya menggunakan nama, cara, dan bahasa yang berbeda untuk menyentuh keheningan yang sama? Di dalam syukur, doa, meditasi, dan kebajikan, kita menemukan bahwa tubuh kita merespons dengan cara yang sama. Dan, hanya mereka yang berani menyelami keheningan lintas tradisi dan lintas agama, yang akan menemukan bahwa ternyata semesta tidak pernah membeda-bedakan cinta.

Referensi:
• Ueda, S. (2024). The Neurobiological Link Between Prayer, Breath Control and Serotonin Release. International Journal of Science and Research Archive, 13(2), 629–646. https://doi.org/10.30574/ijsra.2024.13.2.2136
• Calderone, A., Latella, D., Impellizzeri, F., et al. (2024). Neurobiological Changes Induced by Mindfulness and Meditation: A Systematic Review. Biomedicines, 12(11), 2613. https://www.mdpi.com/2227-9059/12/11/2613
• Newberg, A. B. (2014). The Neuroscientific Study of Spiritual Practices. Frontiers in Psychology, 5, Article 215. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2014.00215
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID