Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 14 Oktober 2025.
Di kedalaman jiwa manusia, terdapat lorong gelap yang harus dilalui sebelum cahaya dapat menyentuh kulitnya. Dante Alighieri, dalam mahakarya Divine Comedy, menulis dengan luka dan nyala: “The path to paradise begins in hell.” Kalimat ini bukan sekadar metafora, melainkan mantra eksistensial yang menggambarkan perjalanan batin manusia dari keterpurukan menuju pencerahan. “Penderitaan adalah gerbang awal menuju transformasi diri yang sejati” (Frankl, 2006). Neraka, dalam konteks ini, bukan hanya tempat, melainkan keadaan jiwa yang terperangkap dalam dendam, luka, kegetiran, kesalahan, penyesalan, kebingungan, dan pencarian makna.
Dalam dunia modern yang penuh tekanan dan ilusi, banyak individu terjebak dalam “neraka” personal: trauma, kegagalan, kehilangan, dan kehampaan. Namun, seperti Dante yang ditemani Virgil menyusuri lapisan-lapisan neraka, manusia pun harus berani menatap luka terdalamnya. “Proses penyembuhan psikologis sering kali dimulai dari pengakuan terhadap penderitaan yang paling kelam” (Jung, 1959). Jung menegaskan bahwa “dalam krisis, seseorang tidak sedang dihukum melainkan dimurnikan, tidak dihancurkan melainkan sedang dibebaskan, tidak ditolak melainkan diarahkan ulang.” Pandangan ini mengubah cara kita melihat penderitaan: bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai katalis pembebasan. Tidak ada surga yang bisa dicapai tanpa keberanian untuk menelusuri lorong gelap diri sendiri. Di hadapan semesta, sebagian kehidupan manusia tersinari cahaya penuntun, sebagian lagi adalah bayangan. Setiap orang memiliki sisi gelap, memiliki bayangan. Menyadari, mengakui adanya sisi gelap dari diri adalah awal dari kebangkitan psikologis dan spiritual. Dalam konteks ini, sisi gelap manusia, neraka, adalah guru. Guru yang menuntun untuk menemukan, bukan kutukan.
Paradoks ini juga berlaku dalam konteks sosial dan sejarah. Bangsa-bangsa yang pernah jatuh dalam konflik, penjajahan, atau krisis moral, justru melahirkan pemikiran dan gerakan yang mengubah dunia. “Krisis kolektif sering kali menjadi titik balik menuju kesadaran baru dan pembaruan nilai-nilai kemanusiaan” (Zizek, 2012). Neraka sosial bukan akhir, melainkan awal dari revolusi batin masyarakat. Dari abu kehancuran, lahir harapan yang lebih jernih. Dante tidak hanya menulis tentang neraka, ia menulis tentang keberanian untuk melampauinya.
Konklusi dari pemikiran ini menegaskan bahwa penderitaan bukanlah musuh, melainkan pintu. “Transformasi eksistensial hanya mungkin terjadi ketika individu atau masyarakat berani menghadapi sisi tergelap dari dirinya” (Heidegger, 1962). Jalan menuju surga bukanlah jalan yang lurus dan terang, melainkan jalan yang berliku, penuh duri, dan kadang harus dilalui dengan air mata. Namun justru di sanalah makna sejati ditemukan. Surga bukan hadiah, melainkan hasil dari perjalanan yang penuh kesadaran.
Dan kini, kita berdiri di ambang pintu itu. Apakah kita akan menghindari neraka dan kehilangan surga? Ataukah kita akan menyusuri lorong gelap dengan keberanian, seperti Dante, dan menemukan cahaya yang tak pernah padam? Dalam hidup, neraka bukanlah akhir, melainkan awal dari pemurnian. Ia adalah cermin yang memaksa kita melihat diri tanpa topeng. Dan hanya mereka yang berani menatap cermin itu, yang akan menemukan surga di baliknya. Di titik ini, kata-kata Dante menjadi nyala: bahwa setiap jiwa yang ingin terbang, harus terlebih dahulu menyelam.
Referensi:
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.
• Jung, C. G. (1959). Aion: Researches into the Phenomenology of the Self. Princeton: Princeton University Press.
• Zizek, S. (2012). The Year of Dreaming Dangerously. London: Verso.
• Heidegger, M. (1962). Being and Time. New York: Harper & Row.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header