Breaking News

NEURO-HEDONISME: SISTEM OPERASI KODRATI UNTUK MEMAKSIMALKAN KESENANGAN DAN MEMINIMALKAN PENDERITAAN


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 7 Oktober 2025.

Di dalam lorong sunyi otak manusia, kesenangan bukan sekadar sensasi; ia adalah tembang kodrati yang mengalun dari kedalaman saraf, menggetarkan jiwa, dan membentuk arah hidup. Seperti cahaya yang menembus kabut, neuro-hedonisme hadir sebagai jembatan antara denyut biologis dan renungan filosofis. “Kesenangan adalah pusat dari pengalaman manusia, dan otak dirancang untuk mencarinya sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan menciptakan makna” (Kringelbach, 2009); untuk perkembanganbiakan, dan pertumbuhan kejiwaan.  Dalam setiap keputusan, dalam setiap dorongan, ada simfoni kimiawi dan kelistrikan otak yang mengarahkan kita menuju rasa nikmat dan menjauh dari derita. Hedonisme bukan sekadar gaya hidup, melainkan denyut eksistensial yang tertanam dalam struktur neurobiologis kita. Inilah yang dalam bahasa agama biasa disebut sebagai hawa nafsu; sebuah perangkat lunak alami, sistem operasi kodrati, fitrah manusia.

Secara ilmiah, neuro-hedonisme menjelaskan bahwa pencarian kesenangan dan penghindaran rasa sakit adalah hasil dari kerja sistem saraf pusat, khususnya jalur hormonal dopamin, serotonin, dan endorfin. “Empat jalur neurotransmiter utama: dopamin, noradrenalin, serotonin, dan glutamate; berperan dalam membentuk perilaku hedonistik manusia. Aktivitas di korteks prefrontal, hippocampus, dan insula menunjukkan bahwa otak tidak hanya merespons kesenangan, tetapi juga merencanakannya, mengingatnya, dan mengintegrasikannya sebagai bagian dari identitas” (De Silva, 2023). Dalam konteks ini, kesenangan bukanlah pelarian, melainkan strategi biologis yang kompleks dan terstruktur. Pencarian kesenangan dan penghindaran rasa sakitlah yang membuat spesies manusia bertahan hidup. Dia yang membuat kehidupan ini berjalan secara otonom: membuat manusia menginginkan makanan, membuat manusia ingin melakukan hubungan seksual, mendorong manusia untuk melindungi tubuh dan pikirannya dari ketidaknyamanan dan ancaman yang merusak. Tanpa neuro-hedonisme manusia tidak berkembang biak, dan sudah lama punah.

Dari sudut pandang filsafat, hedonisme adalah paham yang menyatakan bahwa kesenangan adalah nilai intrinsik tertinggi dalam hidup manusia. “Hedonisme filosofis berpendapat bahwa semua tindakan manusia pada akhirnya bertujuan untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan” (Internet Encyclopedia of Philosophy, 2023). Bentham dan Mill mengembangkan hedonisme dalam kerangka utilitarianisme, sementara Epicurus menekankan pentingnya kesenangan mental dan ketenangan batin. Dalam versi kontemporer, hedonisme tidak lagi dipandang sebagai bentuk egoisme, melainkan sebagai pencarian keseimbangan antara kenikmatan dan kebijaksanaan (Long, 2020; Barker, 2022). Pencarian kesenangan bukanlah kelemahan, melainkan kodrat. “Pengalaman hedonik adalah inti dari apa yang membuat kita manusia, dan memahami mekanismenya dapat membantu kita mengatasi gangguan afektif dan eksistensial” (Kringelbach, 2009). Konsep ini menjelaskan mengapa manusia tertarik pada kenyamanan, keindahan, musik, makanan, seks, dan cinta. 

Kesimpulannya, neuro-hedonisme menawarkan pemahaman yang mendalam tentang motivasi manusia. Ia menunjukkan bahwa kesenangan bukanlah sekadar godaan, tetapi kebutuhan biologis dan eksistensial. Dalam dunia yang penuh tekanan dan ketidakpastian, memahami neuro-hedonisme dapat menjadi kunci untuk merancang kehidupan yang lebih bermakna dan seimbang. Neuro-hedonisme, yang dalam bahasa agama ini sering disebut sebagai nafsu, adalah kodrat manusia yang tidak harus dimusuhi, melainkan perlu dikelola dengan bijak agar menjadi kekuatan yang membawa keseimbangan, bukan destruksi.

Dan di balik denyut saraf dan aliran hormon yang tak terlihat, di balik keputusan-keputusan kecil yang kita ambil setiap hari, tersembunyi simfoni kesenangan yang membentuk siapa kita. Neuro-hedonisme bukanlah sekadar teori, melainkan cermin dari kerinduan manusia akan keutuhan, kehangatan, dan kebahagiaan yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dalam neuro-hedonisme kita menemukan jejak diri. Ia tidak hanya menggambarkan apa yang kita cari, tapi menjelaskan mengapa kita mencari. Dan dalam pemahaman tentangnya, kita memahami lapisan-lapisan luar dari diri, kita menemukan jalan pulang ke kedalaman diri yang sejati.

Referensi:
• Barker, C. (2022). Troubled Hedonism and Social Justice: Mill and the Epicureans on the Ataraxic Life. Utilitas, 35(1), 54–69.
• De Silva, P. N. (2023). Neurobiological and epigenetic perspectives on hedonism, altruism and conscience. BJPsych Advances, 29(3), 198–203. 
• Kringelbach, M. L. (2009). The Hedonic Brain: A Functional Neuroanatomy of Human Pleasure. In Pleasures of the Brain (pp. 202–221). Oxford University Press.
• Internet Encyclopedia of Philosophy. (2023). Hedonism. 
• Long, A. A. (2020). Epicureanism and Utilitarianism. In Oxford Handbook of Epicurus and Epicureanism (pp. 742–760). Oxford University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID