Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 8 Oktober 2025.
Di antara deretan usia yang terus bertambah dan rambut yang perlahan memutih, ada satu hal yang mampu menunda senja: bermain. Bukan sekadar permainan anak-anak, melainkan sikap batin yang merayakan hidup dengan rasa ingin tahu, spontanitas, dan tawa yang jujur. George Bernard Shaw pernah berkata, “Kita tidak berhenti bermain karena menjadi tua, melainkan menjadi tua karena berhenti bermain.” Kutipan ini bukan sekadar kalimat indah, melainkan nyala api yang menolak padamnya semangat. “Bermain adalah bentuk keberanian untuk tetap hidup secara utuh, bahkan ketika dunia menuntut keseriusan” (Groos, 1898). Dalam bermain, manusia menemukan kembali dirinya yang bebas, lentur, dan penuh warna.
Secara neurologis, aktivitas bermain memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan otak dan kesejahteraan psikologis. “Kegiatan bermain merangsang pelepasan dopamin dan meningkatkan neuroplastisitas, yang berperan dalam menjaga fungsi kognitif dan suasana hati” (Brown, 2009). Bermain bukan hanya milik anak-anak, tetapi juga kebutuhan orang dewasa untuk tetap adaptif, kreatif, aktif, dan merawat emosi positif. Dalam dunia yang penuh tekanan dan rutinitas, bermain menjadi ruang katarsis yang sehat, tempat pelepasan emosi dan pemulihan, di mana manusia bisa bernapas lega tanpa beban, dan tertawa lepas tanpa syarat.
Bagi orang tua, bermain bukanlah kemunduran, melainkan ekspresi keberanian untuk tetap lentur dan hidup. “Bermain pada usia lanjut memperkuat jalinan sosial, mengurangi stres, menjaga performa kognisi, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan” (Ginsburg, 2007). Bentuknya bisa beragam: bermain catur atau kartu bersama sahabat, menyanyi, menari bebas di ruang tamu, menulis esai atau puisi reflektif, belajar keterampilan baru, membuat boneka, merajut, melukis dsb. Bahkan menyusun album kenangan, bermain kuis pengetahuan, bergurau dan berbagi lelucon dengan teman, atau bercanda dengan cucu adalah bentuk bermain yang menyegarkan jiwa. Bermain juga bisa diwujudkan dalam aktivitas fisik dan emosional seperti olahraga bersama, bermain musik dengan teman, bersepeda menyusuri jalanan pagi, berkebun sambil bercakap dengan tanah, atau bahkan bermain hujan dengan tawa lepas. “Bermain adalah cara untuk menjaga semangat, memelihara kognisi, fleksibilitas mental, dan kehangatan emosional di tengah usia yang terus bertambah” (Kringelbach, 2009).
Secara filosofis, bermain adalah bentuk perlawanan terhadap determinisme usia. “Bermain adalah ekspresi dari kebebasan eksistensial, di mana manusia menolak dikurung oleh angka dan norma” (Nietzsche, 1886). Dalam bermain, ada keberanian untuk menjadi absurd, untuk tertawa di tengah kesulitan, dan untuk tetap hidup meski dunia berkata sebaliknya. Bermain bukanlah pelarian, melainkan pernyataan: bahwa hidup bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal merayakan. Sadhguru, seorang mistikus dan guru spiritual kontemporer dari India, sering menyampaikan pesan, "Don't be dead serious about life"; jangan serius mati-matian dalam menjalani hidup. Sebab, keseriusan berlebihan membunuh rasa ingin tahu, kegembiraan, dan spontanitas yang mana itu adalah hal-hal yang membuat hidup terasa "hidup". Hidup dalam keseriusan adalah hidup dalam kekakuan dan ketakutan: ketakutan akan kegagalan, penilaian orang lain, dan keharusan untuk selalu "benar". Ini membuat kita kaku, tidak luwes, dan mudah stres. Dengan melihat hidup sebagai permainan, Anda bisa menertawakan kesalahan sendiri, belajar darinya, dan bergerak maju tanpa beban berat. Mampu menertawakan kesalahan sendiri adalah tanda bahwa Anda tidak terjebak, tidak terjerat dalam drama kehidupan.
Kesimpulannya, bermain adalah elemen esensial dalam menjaga vitalitas dan makna hidup. Ia bukan sekadar aktivitas, tetapi sikap batin yang menolak takluk pada usia. “Menjaga semangat bermain adalah menjaga nyala kehidupan itu sendiri” (Kringelbach, 2009). Dalam dunia yang semakin menuntut efisiensi dan keseriusan, bermain menjadi oasis yang menyegarkan jiwa dan memperpanjang masa muda secara emosional dan spiritual.
Dan ketika usia tak lagi muda, ketika tubuh mulai melambat, bermain tetap menjadi nyanyian yang tak lekang oleh waktu. Ia adalah tarian cahaya di tengah gelap, tawa kecil di antara tangis, dan pelukan hangat di antara dinginnya rutinitas. Kita tidak menjadi tua karena waktu, kita menjadi tua karena kehilangan keberanian untuk bermain. Maka, bermainlah; dengan hati, dengan imajinasi, dengan cinta. Karena di sanalah, hidup menemukan maknanya kembali.
Referensi:
• Brown, S. L. (2009). Play: How It Shapes the Brain, Opens the Imagination, and Invigorates the Soul. Avery.
• Ginsburg, K. R. (2007). The importance of play in promoting healthy child development and maintaining strong parent-child bonds. Pediatrics, 119(1), 182–191.
• Groos, K. (1898). The Play of Animals. D. Appleton and Company.
• Kringelbach, M. L. (2009). The Hedonic Brain: A Functional Neuroanatomy of Human Pleasure. In Pleasures of the Brain (pp. 202–221). Oxford University Press.
• Nietzsche, F. (1886). Jenseits von Gut und Böse [Beyond Good and Evil]. Leipzig: C. G. Naumann.
MPK’s Literature-based Perspectives Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header