Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 6 Oktober 2025.
Dalam setiap tetes keringat yang menetes dari dahi, dalam setiap helaan napas yang tertahan karena lidah terbakar, ada nyanyian sunyi yang tak terdengar: nyanyian kenikmatan yang lahir dari derita kecil yang disengaja. Makan sambal cabe pedas bukan sekadar ritual kuliner; ia adalah tarian api tantangan di atas altar rasa, tempat manusia menari bersama rasa sakit yang dipeluk dengan sukacita. Seperti puisi yang ditulis dengan darah, kenikmatan masokistis (masochistic pleasure) adalah paradoks yang hidup: “Kenikmatan bisa muncul dari rasa sakit yang dipilih secara sadar, sebagai bentuk penegasan eksistensi diri” (Suryani, 2021). Dalam konteks ini, sambal bukan sekadar bumbu, melainkan medium spiritual yang menghubungkan tubuh dengan keberanian jiwa untuk merasa.
"Kenikmatan masokistis adalah kepuasan atau kesenangan yang diperoleh dari mengalami rasa sakit fisik atau emosional. Masokisme bukanlah gangguan, melainkan ekspresi kompleks dari pencarian sensasi, tantangan, dan kontrol terhadap rasa sakit” (Baumeister, 1989). Dalam konteks makan sambal, individu secara sadar memilih rasa pedas yang menyakitkan sebagai bentuk eksplorasi menantang tubuh, daya tahan, dan kenikmatan. Rasa pedas memicu pelepasan endorfin, hormon kebahagiaan, yang menjelaskan mengapa rasa sakit bisa terasa menyenangkan. Ini adalah bentuk neuro-hedonisme, di mana tubuh merespons ancaman ringan dengan euforia. Hal yang sama terjadi dalam aspek kehidupan yang lain.
Dalam dunia petualangan yang penuh risiko, manusia mencari sensasi yang menggetarkan jiwa, menantang batasan-batasan fisik dan mentalnya. “Aktivitas berisiko seperti panjat tebing, terjun payung, ultra marathon, bela diri, dan arung jeram memicu pelepasan adrenalin dan memberikan perasaan hidup yang intens” (Brymer & Oades, 2009). Keberanian menghadapi bahaya menjadi sumber kenikmatan tersendiri, sebuah pengakuan eksistensial bahwa hidup bukan sekadar rutinitas, tetapi rangkaian tantangan yang menyegarkan dan memperkaya pengalaman manusia. Seperti halnya sambal pedas yang membakar lidah, petualangan yang berisiko mengajarkan bahwa rasa sakit dan ketidakpastian dapat menjadi bahan bakar bagi rasa syukur dan kebahagiaan yang mendalam.
Kenikmatan masokistis tidak selalu bersifat fisik. “Ada kenikmatan emosional dalam merasakan luka batin yang disengaja; seperti mendengarkan lagu sedih, membaca puisi pilu, atau merintih sembilu kepada Pencipta (Zizek, 2008). Dalam konteks ini, sambal menjadi metafora dari luka yang dirayakan. Rasa pedas adalah rasa sakit yang bisa dikendalikan, berbeda dari luka emosional yang tak terduga. Dengan makan sambal, manusia belajar bahwa rasa sakit bisa menjadi teman, bukan musuh. Ia menjadi cermin dari kehidupan yang tak selalu manis, namun tetap layak untuk dinikmati.
Secara eksistensial, manusia tidak hanya hidup untuk bertahan, tetapi untuk mencari makna melalui tantangan yang dihadapi. Hidup tanpa rintangan dan kesulitan ibarat taman tanpa bunga, hambar dan kehilangan warna. “Manusia membutuhkan kontras antara kenyamanan dan kesulitan agar keberadaannya terasa autentik dan bermakna” (Frankl, 1963). Melalui tantangan, seseorang dihadapkan pada pilihan, kebebasan, dan tanggung jawab yang memberi warna pada eksistensi. Dalam konteks ini, kenikmatan masokistis, seperti menikmati sambal pedas yang membakar, juga menjadi bentuk pencarian makna dan pembuktian diri atas keberanian menghadapi rasa sakit demi kehidupan yang kaya rasa.
Kesimpulannya, kenikmatan masokistis dalam makan sambal adalah bentuk kontemplasi tubuh dan jiwa yang mengajarkan bahwa rasa sakit fisik dan mental dalam hidup ini bukanlah akhir dari kenikmatan, melainkan pintu masuk menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri. Dalam setiap sajian sambal, sajian permasalahan dan tantangan kehidupan, ada keberanian untuk merasa, untuk hidup sepenuhnya, bahkan dalam perih.
Dan di akhir rasa pedas yang membakar lidah, dan rasa pedas dalam kehidupan yang membakar jiwa, tersisa keheningan yang penuh makna. Seperti puisi yang selesai dibaca, rasa sakit itu meninggalkan jejak: bahwa manusia bukan hanya makhluk pencari kenyamanan, tetapi juga penjelajah rasa yang berani menari di atas bara. Kenikmatan masokistis bukanlah penyimpangan, melainkan seni hidup yang merayakan luka sebagai bagian dari keindahan. Di dunia yang serba instan dan nyaman, rasa pedas sambal adalah pengingat bahwa hidup yang beraneka rasa, yang kaya romantika adalah hidup yang indah dan mempesona. Dan, hidup ini, bagaimanapun rona rasanya, tetap sangat layak untuk dirayakan dan disyukuri.
Referensi:
• Baumeister, R. F. (1989). Masochism and the self. Journal of Sex Research, 26(1), 1–20.
• Brymer, E., & Oades, L. G. (2009). Extreme sports as a precursor to personal transformation. Journal of Humanistic Psychology, 49(1), 114–126.
• Frankl, V. E. (1963). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Lim, J. (2015). Spicy Masculinity: Food, Identity, and Power in Southeast Asia. Asian Journal of Cultural Studies, 12(3), 45–60.
• Suryani, N. (2021). Kenikmatan dalam Rasa Sakit: Perspektif Psikologi Eksistensial. Jurnal Psikologi Indonesia, 18(2), 112–124.
• Zizek, S. (2008). The Sublime Object of Ideology. Verso.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header