Breaking News

HOMO LUDENS: BERMAIN DAN MENCIPTAKAN BUDAYA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 10 Oktober 2025.

Di balik gemuruh laju peradaban, di antara derap langkah sejarah dan mesin logika yang membangun dunia, terdapat satu panggilan alami yang tak pernah padam: permainan. Ia bukan sekadar hiburan, bukan pelarian dari kenyataan, melainkan jantung dari penciptaan budaya itu sendiri. Seperti anak-anak yang menata batu menjadi istana, manusia sejak awal telah bermain untuk memahami, menata, dan menghidupi dunia. “Permainan adalah bentuk ekspresi manusia yang paling murni, tempat di mana imajinasi dan tatanan bertemu dalam harmoni” (Huizinga, 1938). Dalam ruang bermain, manusia menemukan kebebasan yang tertib, aturan yang disepakati, dan makna yang lahir dari spontanitas. Di sanalah budaya pertama kali bernafas.

Permainan bukanlah aktivitas tambahan dalam hidup manusia, melainkan fondasi dari struktur sosial dan simbolik yang membentuk masyarakat. “Budaya tidak lahir dari kerja atau pemikiran rasional, melainkan dari semangat bermain yang menghidupi tindakan manusia” Dalam ritual, dalam seni, dalam hukum, bahkan dalam politik, terdapat unsur ludik (bersifat permainan; dari kata "ludus" dalam bahasa Latin, yang berarti permainan) yang menyusun narasi kolektif. Permainan menciptakan dunia alternatif yang memiliki aturan sendiri, namun tetap mengikat dan bermakna. Ia adalah simulasi kehidupan yang memungkinkan manusia menguji batas, merayakan peran, dan membentuk identitas (Sutton-Smith, 2001).

Dalam konteks ekonomi dan teknologi, semangat bermain tetap hadir sebagai motor inovasi. “Di balik penciptaan alat dan aktivitas produksi, terdapat dorongan ludik yang mendorong eksplorasi dan kreativitas” (Brown & Vaughan, 2009). Ketika manusia menciptakan roda, membangun piramida, atau merancang algoritma, ia sedang bermain dengan kemungkinan. Permainan menjadi ruang eksperimentasi yang melampaui fungsi dan efisiensi. Bahkan dalam dunia kerja modern, gamifikasi menjadi pendekatan strategis untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan. Ini menunjukkan bahwa Homo Ludens bukanlah masa lalu, melainkan masa kini yang terus berkembang.

Konsep Homo Ludens juga menantang paradigma pendidikan dan pembelajaran. “Belajar melalui bermain memungkinkan terbentuknya pemahaman yang mendalam dan kontekstual” (Vygotsky, 1978). Anak-anak tidak belajar dengan duduk diam, tetapi dengan bergerak, berimajinasi, dan berinteraksi. Dalam dunia dewasa, pendekatan ludik membuka ruang bagi pembelajaran yang reflektif dan transformatif. Permainan bukanlah gangguan, melainkan metode yang mengaktifkan potensi manusia secara utuh: kognitif, emosional, dan sosial.

Kesimpulannya, Homo Ludens adalah cermin dari esensi manusia yang tidak hanya bekerja dan berpikir, tetapi juga bermain dan mencipta. Permainan adalah medium yang menyatukan logika dan emosi, struktur dan spontanitas, individu dan komunitas. Ia adalah benih dari budaya, bukan buahnya. “Tanpa permainan, tidak ada seni, tidak ada hukum, tidak ada peradaban” (Huizinga, 1938). Maka, memahami manusia sebagai makhluk yang bermain adalah memahami akar terdalam dari kemanusiaan itu sendiri.

Dan pada akhirnya, dalam senja kehidupan, ketika kerja telah usai dan pemikiran telah lelah, yang tersisa adalah permainan. Permainan dalam bentuk tawa, dalam bentuk cerita, dalam bentuk kenangan yang kita ulangi seperti anak-anak yang tak ingin tidur. Di sanalah kita menemukan makna, bukan karena kita bekerja, tetapi karena kita bermain. “Permainan adalah tempat di mana manusia menjadi dirinya yang paling bebas, paling kreatif, dan paling manusiawi” (Caillois, 2001). Maka, mari kita bermain, bukan untuk melupakan dunia, tetapi untuk menciptakannya kembali.

Referensi:
• Huizinga, J. (1938). Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture. Routledge.
• Sutton-Smith, B. (2001). The Ambiguity of Play. Harvard University Press.
• Brown, S., & Vaughan, C. (2009). Play: How It Shapes the Brain, Opens the Imagination, and Invigorates the Soul. Avery.
• Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Harvard University Press.
• Caillois, R. (2001). Man, Play and Games. University of Illinois Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID