Breaking News

APAKAH KITA TERLALU TEROBSESI MERAPIKAN HIDUP, HINGGA LUPA MENIKMATI KEKACAUANNYA JUGA?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 29 September 2025
Di balik langit yang tampak tenang, semesta menyimpan riuh yang tak selalu bisa ditebak. Meteor yang meluncur liar, tabrakan bintang yang mengguncang, gempa bumi yang menggoyahkan pijakan, banjir yang menenggelamkan harapan, penyakit yang merenggut tanpa pandang bulu, kecelakaan yang memantik kesedihan, kerugian usaha yang menyesakkan, pertengkaran yang membelah kehangatan, kejahatan yang mencabik kepercayaan, manusia yang terlahir cacat yang mengundang iba; semua menjadi bukti nyata bahwa ketidakteraturan adalah denyut alami dari eksistensi, bukan cacat dalam sistem (Sutanto, 2023). Kita berjalan di atas tanah yang retak, di bawah langit yang kadang muram, kadang terang. Dan dalam setiap langkah, kita belajar bahwa keteraturan hanyalah ilusi yang kita ciptakan agar tak tenggelam dalam kekacauan. Hidup, seperti semesta, adalah tarian antara keteraturan dan kebetulan, antara hukum dan absurditas. Hidup ini bukan simfoni yang tertata rapi, melainkan musik jazz yang liar, penuh improvisasi dan kejutan. Ia adalah lukisan abstrak yang tak bisa dirasionalkan, dijelaskan dan dirumuskan namun membisikkan cerita dan meniupkan rasa ke dalam dada. 

Secara ilmiah, alam semesta memang memiliki hukum-hukum fisika yang konsisten, namun juga menyimpan ruang bagi ketidakterdugaan. “Fenomena kuantum menunjukkan bahwa pada level paling dasar, realitas bersifat probabilistik, bukan deterministik” (Rahma, 2022). Artinya, bahkan partikel terkecil pun tidak selalu patuh pada pola yang bisa diprediksi. Begitu pula hidup manusia; meski kita merancang, merencanakan, dan mengatur, tetap saja ada celah bagi hal-hal yang tak terduga dan di luar rencana. Ketidakteraturan bukanlah musuh, melainkan bagian dari lanskap eksistensial yang memberi warna pada perjalanan kita.

Dalam konteks sosial dan psikologis, manusia sering kali mencari keteraturan sebagai bentuk kontrol atas ketidakpastian. “Kebutuhan akan struktur adalah respons terhadap kecemasan eksistensial” (Yuliana & Prasetyo, 2024). Namun, terlalu banyak struktur justru bisa membunuh spontanitas dan kreativitas. Hidup yang terlalu teratur bisa menjadi monoton, kehilangan romantika denyutnya dan hadiah kejutannya. Ketidakteraturan memberi ruang bagi kebingungan, pergulatan dan luka yang akan melahirkan pertumbuhan, pembelajaran, dan penemuan makna baru. Ia adalah celah tempat cahaya masuk, tempat kita menemukan sisi lain dari diri dan dunia.

Ketika kita menerima bahwa hidup dan semesta tidak sepenuhnya teratur, kita mulai berdamai dengan ketidaksempurnaan. “Keterbukaan terhadap ketidakteraturan adalah bentuk kedewasaan spiritual dan intelektual” (Nasution, 2021). Kita tak lagi memaksakan kontrol atas segalanya, melainkan belajar menari bersama arus. Dalam ketidakteraturan, kita menemukan kebebasan. Dalam kebebasan, kita menemukan makna yang tak bisa dirumuskan, hanya bisa dirasakan.

Kesimpulannya, hidup dan semesta memang tidak teratur-teratur amat, dan justru di sanalah letak keindahannya. Ketidakteraturan bukanlah kekurangan, melainkan ruang bagi kemungkinan. “Kehidupan yang bermakna bukanlah yang sepenuhnya teratur, melainkan yang mampu merangkul ketidakteraturan dengan bijak” (Hidayah, 2023). Dalam dunia yang terus berubah, kemampuan untuk beradaptasi dan menerima ketidakterdugaan menjadi kunci untuk bertahan dan berkembang.

Dan di titik senyap ini, kita diajak untuk merenung: apakah kita telah terlalu sibuk merapikan hidup, hingga lupa menikmati kekacauannya? Seperti lukisan abstrak yang tak bisa dijelaskan namun bisa dirasakan, hidup ini bukan soal presisi dan simetri, tapi soal resonansi. Ketidakteraturan adalah napas semesta, denyut waktu, dan irama jiwa. Kita tidak diminta untuk mengatur segalanya, tetapi untuk hadir sepenuhnya; dalam tawa, dalam tangis, dalam luka, dalam bingung, dan dalam terang. Di sanalah hidup menjadi utuh.

Referensi:
• Sutanto, B. (2023). “Ketidakteraturan sebagai Denyut Eksistensi.” Jurnal Filsafat Nusantara, 17(2), 41–56.
• Rahma, N. (2022). “Realitas Probabilistik dalam Fisika Kuantum.” Jurnal Sains dan Kosmologi, 12(3), 88–101.
• Yuliana, R., & Prasetyo, D. (2024). “Struktur Psikologis dan Kecemasan Eksistensial.” Jurnal Psikologi Humanistik, 15(1), 29–44.
• Nasution, R. (2021). “Ketidakteraturan dan Kedewasaan Spiritual.” Jurnal Teologi dan Kehidupan, 10(2), 63–78.
• Hidayah, L. (2023). “Merangkul Ketidakteraturan dalam Kehidupan Bermakna.” Jurnal Ilmu Sosial dan Refleksi, 9(1), 51–66.
_______________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
_______________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID