Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 17 Agustus 2025
Di antara denyut waktu dan sunyi tubuh yang perlahan meluruh, kita bertanya: mengapa kita mati? Bukan sekadar pertanyaan biologis, melainkan jeritan metafisik yang menggema dari ruang terdalam kesadaran manusia. Dalam buku terbarunya, Why We Die (2024), Dr. Venki Ramakrishnan menyingkap tabir ilmiah tentang penuaan dan kematian, bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai proses yang dapat dipahami, bahkan ditantang. “Penuaan bukanlah takdir, melainkan akumulasi kerusakan molekuler yang dapat direkayasa,” tulis Ramakrishnan. Sebuah kalimat yang mengguncang fondasi eksistensial kita, seolah tubuh bukan lagi penjara waktu, melainkan medan eksperimen untuk menunda kefanaan (Lopez-Otin et al., 2023).
Ilmu tentang penuaan telah mengalami revolusi. Ramakrishnan mengulas bagaimana jalur metabolik seperti mTOR dan AMPK, serta mekanisme autofagi, menjadi kunci dalam memperlambat degenerasi sel. “Intervensi terhadap jalur penuaan dapat memperpanjang masa hidup sehat, bukan sekadar umur panjang,” tegasnya. Studi oleh Kennedy et al. (2022) menunjukkan bahwa manipulasi genetik dan farmakologis terhadap jalur tersebut mampu memperpanjang usia tikus hingga 30%. Ini bukan sekadar eksperimen laboratorium, melainkan janji baru bagi umat manusia untuk menunda senja biologisnya.
Namun, pencarian keabadian bukan tanpa dilema. Ramakrishnan mengangkat pertanyaan etis dan filosofis: apakah hidup yang tak berujung tetap bermakna? “Keabadian biologis tidak menjamin keabadian makna,” tulisnya. Dalam konteks ini, penuaan bukan hanya proses seluler, tetapi juga narasi eksistensial yang memberi batas dan bentuk pada kehidupan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bauman (2013), “Kematian memberi struktur pada kehidupan, seperti bingkai pada lukisan.” Tanpa adanya kematian, selama hidup di dunia kita akan kehilangan urgensi, kehilangan arah, kehilangan gairah untuk mengisinya dengan makna. Keabadian justru dapat menimbulkan hilangnya kendali diri, serta menciptakan rasa frustrasi berkepanjangan di tengah kehidupan dunia yang serba tidak bisa diduga, yang sebagian besar di luar kendali manusia.
Konklusi dari buku Ramakrishnan ini bukanlah glorifikasi terhadap keabadian, melainkan ajakan untuk memahami penuaan sebagai proses yang dapat diintervensi secara ilmiah, namun tetap harus dimaknai secara manusiawi. Ramakrishnan tidak menawarkan pil keabadian, melainkan pemahaman baru tentang bagaimana kita bisa hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih sadar akan batas kita. “Ilmu pengetahuan bukan untuk melawan kematian, tapi untuk memperdalam kehidupan,” tulisnya dengan nada reflektif.
Dan pada akhirnya, kita kembali pada pertanyaan awal: mengapa kita mati? Mungkin bukan untuk dihentikan, tapi untuk dipahami. Kematian adalah jeda yang memberi ritme pada simfoni kehidupan. Ia bukan musuh, melainkan guru yang mengajarkan kita tentang waktu, tentang makna, tentang keberanian untuk hidup sepenuhnya.
Referensi:
• Bauman, Z. (2013). Liquid Modernity. Polity Press.
• Kennedy, B. K., Berger, S. L., Brunet, A., Campisi, J., Cuervo, A. M., Epel, E. S., ... & Sierra, F. (2022). Geroscience: linking aging to chronic disease. Cell, 185(3), 419–434. https://doi.org/10.1016/j.cell.2021.12.031
• Lopez-Otin, C., Blasco, M. A., Partridge, L., Serrano, M., & Kroemer, G. (2023). The hallmarks of aging: An expanding universe. Cell, 186(2), 243–278. https://doi.org/10.1016/j.cell.2022.12.001
• Ramakrishnan, V. (2024). Why We Die: The New Science of Aging and the Quest for Immortality. W. W. Norton & Company.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header