Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 24 Agustus 2025.
Di dalam lorong jiwa kita tersembunyi sosok yang tak kita kenali, namun ia berbicara dengan suara kita, berjalan dengan langkah kita, dan mencintai dengan luka kita. Ia bukan orang lain—ia adalah versi kita yang pahit, getir, kadang culas dan kejam. Tokoh ini tak datang dari luar, melainkan tumbuh dari serpihan trauma, ketakutan, ambisi yang tak terucap, serta kurangnya pemahaman dan kesadaran diri. “Setiap individu menyimpan bayangan psikologis yang terdiri dari aspek-aspek diri yang ditolak atau disangkal,” tulis Jung dalam The Archetypes and the Collective Unconscious (1959). Bayangan itu bukan musuh, tapi cerminan diri: memperlihatkan sisi yang kita sembunyikan dari dunia, dan bahkan dari diri sendiri.
Toksisitas internal bukanlah mitos, melainkan dinamika psikologis yang nyata. Ia muncul dalam bentuk dorongan manipulasi halus, rasa iri yang disamarkan sebagai kritik, agitasi dan dominasi dalam bentuk narsisme, tuntutan akan pengakuan yang menyamar sebagai kontribusi maupun amal kebaikan, atau kebutuhan akan kontrol yang dibungkus dengan kepedulian. “Perilaku toksik dapat berasal dari mekanisme pertahanan yang maladaptif, seperti proyeksi bisikan niat manipulatif dan rasionalisasi atas tindakan buruk,” ujar Baumeister et al. (2001) dalam Review of General Psychology. Kita sering mengira yang toksik hanyalah orang lain, padahal ia bisa jadi adalah suara batin kita yang membisikkan keraguan, keculasan, menyulut konflik, dan merusak relasi yang kita bangun.
Dalam konteks relasi sosial, toksisitas internal bisa menjadi racun yang menetes perlahan. Ketika kita merasa perlu menang dalam setiap argumen, atau ketika empati berubah menjadi alat untuk mendapatkan validasi, kita sedang memainkan peran toksik tanpa sadar. “Toksisitas interpersonal sering kali berakar pada luka batin yang belum disembuhkan,” tulis Brown (2018) dalam Dare to Lead, atau pemahaman dan kesadaran akan diri yang belum memadahi. Maka, mengenali toksisitas dalam diri bukanlah bentuk penghakiman, melainkan langkah awal menuju penyembuhan dan pembebasan.
Penting untuk dipahami bahwa toksisitas bukan identitas, melainkan pola. Ia bisa diurai, ditata ulang, dan diubah. “Kesadaran akan pola perilaku negatif adalah prasyarat untuk transformasi psikologis,” ujar Siegel (2012) dalam The Developing Mind. Dengan refleksi dan keberanian, kita bisa mengubah racun menjadi pelajaran, dan bayangan menjadi cahaya. Proses ini bukan instan, tapi ia adalah jalan pulang menuju integritas diri yang utuh.
Kesimpulannya, mengakui bahwa ada lapisan-lapisan endapan toksisitas dalam diri bukan pasti berarti kita jahat, melainkan kita manusia. Manusia yang kompleks, penuh paradoks, dan sedang belajar memahami dan mencintai dirinya secara utuh. “Penerimaan terhadap bayangan diri adalah fondasi dari pertumbuhan psikologis yang sejati,” tulis Whitmont (1991) dalam The Return of the Goddess. Maka, perjalanan menuju versi terbaik dari diri kita dimulai dari keberanian untuk melihat sisi tergelapnya.
Dan di akhir segala pencarian, kita berdiri di depan cermin yang tak memantulkan wajah, melainkan jiwa. Di sana, kita melihat bukan hanya cahaya, tapi juga retakan. Bukan hanya senyum, tapi juga luka. Toksisitas dalam diri bukan untuk dibenci, tapi untuk dipahami. Karena hanya dengan menyadari, menerima dan memahaminya, jiwa bisa terbebas dari penguasaan dan jeratannya. Dan hanya dengan pembebasan jiwa darinya, kita akan bisa benar-benar hidup—bukan sebagai bayangan, tapi sebagai cahaya yang telah melewati kegelapan.
Referensi:
• Jung, C. G. (1959). The Archetypes and the Collective Unconscious. Princeton University Press.
• Baumeister, R. F., et al. (2001). The self and its defenses: A review of mechanisms. Review of General Psychology, 5(1), 1–24.
• Brown, B. (2018). Dare to Lead: Brave Work. Tough Conversations. Whole Hearts. Random House.
• Siegel, D. J. (2012). The Developing Mind: How Relationships and the Brain Interact to Shape Who We Are. Guilford Press.
• Whitmont, E. C. (1991). The Return of the Goddess. Crossroad Publishing.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header