Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 27 Agustus 2025.
Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa definisi manusia tentang Tuhan tidak tetap, tidak tunggal. Mulai dari animisme, dinamisme, politeisme, monoteisme, sain-teisme, maupun panteisme. Dan semuanya benar pada masanya, dan pada penganutnya. Namun, apapun definisinya, tentu Tuhan dulu, Tuhan sekarang, Tuhan milik siapa pun, pada esensinya tetap dan sama. Pandangan manusialah yang berbeda-beda dan berubah-ubah. Pandangan Baruch Spinoza tentang Tuhan, yang termuat dalam karyanya yang monumental, Etika (Spinoza, 1677/1985), menawarkan perspektif yang radikal dan seringkali "bertentangan dengan konsep ketuhanan" yang lazim dianut oleh mayoritas penganut agama di Indonesia. Jika pandangan keagamaan umum di Indonesia, yang didominasi oleh Islam dan Kristen, cenderung menggambarkan Tuhan sebagai "entitas transenden, personal, sosok, dan pencipta yang terpisah dari ciptaan-Nya" (Nasution, 1979; Sunardi, 2002), maka Spinoza mengusung gagasan "Deus sive Natura", atau "Tuhan, yakni Alam".
Menurut Spinoza, "Tuhan adalah satu-satunya substansi yang ada", yang "tidak terbatas, mandiri, dan abadi" (Spinoza, 1677/1985, Bagian I, Definisi 3 & 6), tidak ada sesuatu kecuali Tuhan. Konsep "substansi" ini sangat berbeda dari pandangan teistik yang memisahkan Tuhan dari alam. Bagi Spinoza, "Tuhan bukanlah pencipta di luar alam semesta", melainkan "identik dengan alam semesta itu sendiri", dalam segala manifestasi dan hukum-hukumnya. Ini adalah bentuk "panteisme" atau bahkan "panenteisme" (Deleuze, 1988), di mana segala sesuatu yang ada adalah "bagian dari Tuhan" atau "ekspresi dari sifat-sifat Tuhan". Kemanapun kamu menghadap, hanya ada wajah Tuhan.
Kontras utama dengan pandangan agama di Indonesia terletak pada aspek "personalitas Tuhan". Dalam Islam, Tuhan (Allah) adalah entitas personal yang Maha Esa, memiliki sifat-sifat (Asmaul Husna), dan berinteraksi langsung dengan ciptaan-Nya melalui wahyu dan mukjizat (Shihab, 1999). Demikian pula dalam Kristen, Tuhan adalah Bapa yang personal, yang dapat menjalin hubungan pribadi dengan manusia melalui doa dan iman (McGrath, 2007). Namun, bagi Spinoza, Tuhan "bukanlah pribadi dalam pengertian antropomorfik". Tuhan Spinoza "tidak memiliki emosi, kehendak bebas, atau kesadaran" seperti manusia. Tuhan bertindak berdasarkan "kebutuhan esensial dari kodrat-Nya", dan "hukum-hukum alam adalah ekspresi dari sifat ilahi" (Spinoza, 1677/1985, Bagian I, Proposisi 29).
Lebih lanjut, Spinoza menolak konsep "kehendak bebas Tuhan" yang sering menjadi dasar teologi penciptaan dan intervensi ilahi. Baginya, "segala sesuatu terjadi karena keniscayaan ilahi", dan "tidak ada kebetulan dalam alam semesta" (Spinoza, 1677/1985, Bagian I, Proposisi 33). Ini berbeda tajam dengan keyakinan populer di Indonesia tentang "takdir" yang sering dipahami sebagai ketetapan Tuhan yang personal, atau "mukjizat" sebagai intervensi langsung Tuhan yang melampaui hukum alam. Spinoza akan melihat mukjizat bukan sebagai pelanggaran hukum alam, melainkan sebagai "perwujudan dari hukum alam yang belum kita pahami".
Implikasi etis dari pandangan Spinoza juga menarik. Jika Tuhan adalah Alam, maka "mencintai Tuhan adalah memahami dan menerima hukum-hukum alam" (Spinoza, 1677/1985, Bagian V, Proposisi 32). Kebahagiaan tertinggi ("amor intellectualis Dei") dicapai melalui "pemahaman rasional tentang keberadaan yang niscaya" dan "keterkaitan segala sesuatu dalam substansi ilahi". Ini sangat kontras dengan pencarian kebahagiaan spiritual dalam agama-agama Abrahamik yang sering berpusat pada "ketaatan terhadap perintah Tuhan yang personal" dan "pengharapan akan kehidupan setelah mati" (Rahman, 1966).
Meskipun terdapat kontras yang jelas, pandangan Spinoza dapat menemukan "titik temu" dengan aspek-aspek tertentu dalam spiritualisme Islam dan Kristen, bahkan Budisme. Dalam mistisisme Islam (Sufisme), konsep "wahdatul wujud" (kesatuan eksistensi) yang diajarkan oleh Ibnu Arabi, meskipun berbeda secara fundamental dari Spinoza, juga menggarisbawahi "kesatuan segala sesuatu dengan Tuhan" (Chittick, 1989). Ada penekanan pada "melihat manifestasi Tuhan di setiap ciptaan" dan "mengalami Tuhan melalui alam". Demikian pula, dalam spiritualisme Kristen, terutama tradisi "mistisisme alam" atau "spiritualitas creation-centered" (Fox, 1983), ada ajakan untuk "merasakan kehadiran ilahi dalam keindahan dan keteraturan alam" dan "melihat ciptaan sebagai cerminan sifat-sifat Tuhan". Meskipun tidak sampai mengidentikkan Tuhan dengan alam, kedua tradisi spiritual ini memiliki kesamaan dalam "menemukan Tuhan di dalam, bukan hanya di luar" alam semesta, Tuhan yang melingkupi sekaligus menyusupi segala sesuatu, maupun segala yang bukan sesuatu.
Referensi:
• Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabi's Metaphysics of Imagination. State University of New York Press.
• Deleuze, G. (1988). Spinoza: Practical Philosophy. City Lights Books.
• Fox, M. (1983). Original Blessing: A Primer in Creation Spirituality. Bear & Company.
• McGrath, A. E. (2007). Christian Theology: An Introduction (4th ed.). Blackwell Publishing.
• Nasution, H. (1979). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Penerbit Universitas Indonesia.
• Rahman, F. (1966). Islam. University of Chicago Press.
• Shihab, M. Q. (1999). Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan.
• Spinoza, B. (1985). Ethics (E. Curley, Trans.). Princeton University Press. (Original work published 1677)
• Sunardi, S. (2002). Theologia Naturalis: Pengantar Filsafat Agama. Kanisius.
_______________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header