Breaking News

MEMAHAMI KETAKUTAN AKAN KEMATIAN


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 22 Agustus 2025.
Kehidupan adalah sebuah sungai yang mengalir, dan kematian adalah samudra tempat semua aliran bermuara. Sepanjang sejarah peradaban, manusia telah berdiri di tepi muara kehidupan dan kematian itu, menatapnya dengan campur aduk antara rasa takjub dan ketakutan yang mencekam. Mereka membangun benteng-benteng keyakinan dan narasi, seolah menolak takdir kematian yang tak terhindarkan itu. Ketakutan akan kematian bukanlah sekadar respons biologis, melainkan sebuah tragedi batin yang rumit—bisikan dari alam yang menyadarkan kita bahwa setiap napas bukanlah denyut abadi dan setiap langkah manusia adalah jejak menuju akhir. Itulah mengapa manusia melawan, menolak, bahkan mencoba mengelabui bayangan yang senantiasa mengintai di ujung lorong waktu.

Salah satu akar utama dari ketakutan ini adalah kecemasan mendalam akan ketiadaan. Manusia sebagai makhluk yang sadar akan eksistensinya, memiliki ketakutan fundamental akan lenyapnya kesadaran, memori, dan identitas diri. Seperti yang dijelaskan dalam literatur, "Ketakutan akan kematian sebagian besar didorong oleh kecemasan akan ketiadaan, yaitu hilangnya kesadaran dan penghapusan identitas diri yang telah dibangun seumur hidup" (Becker, 1973). Hilangnya pengalaman adalah hal yang tidak menyamanan, bahkan menakutkan. Kita takut bahwa semua yang kita pikirkan, rasakan, dan alami akan berakhir begitu saja, meninggalkan kekosongan abadi yang tidak bisa dipahami oleh pikiran. Pikiran manusia terbiasa dengan keberadaan dan pengalaman berbasis fisik yang nyata. Kekosongan dan kehampaan adalah wilayah asing yang misterius sekaligus mencemaskan.

Ketakutan akan kematian juga tidak dapat dipisahkan dari naluri biologis untuk bertahan hidup, yang telah tertanam dalam DNA kita selama jutaan tahun evolusi. Naluri ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang mendorong kita untuk melawan penyakit dan menghindari bahaya, untuk melestarikan eksistensi. Sebuah studi evolusi manusia menunjukkan bahwa "Secara evolusioner biologis, naluri bertahan hidup telah tertanam kuat dalam DNA manusia, menjadikan ketakutan akan kematian sebagai mekanisme pertahanan alamiah untuk memastikan kelangsungan spesies" (Wilson & Dawkings, 2023). Ketakutan ini, dalam wujudnya yang paling primitif, adalah sebuah tanda bahwa kita dirancang untuk berjuang, bukan untuk menyerah.

Selain itu, manusia adalah makhluk sosial, dan kematian adalah pemisah terbesar dari orang-orang yang kita cintai. Ketakutan ini seringkali lebih tentang meninggalkan daripada ditinggalkan. Kita takut tidak bisa lagi menyaksikan senyum anak-anak, mendengar tawa pasangan, atau berbagi cerita dengan orang tua. Ketakutan akan kehilangan koneksi dan meninggalkan warisan yang belum selesai adalah beban emosional yang berat. Menurut sebuah analisis psikologi sosial, "Ketakutan akan kematian bukanlah hanya soal akhir dari eksistensi pribadi, tetapi juga ketakutan mendalam akan perpisahan permanen dengan orang-orang terkasih dan warisan yang ditinggalkan" (Herman, 2022).

Pada akhirnya, ketakutan manusia pada kematian adalah sebuah respons multifaktorial yang mencakup dimensi psikologis, biologis, dan sosial. Itu bukan sebuah kelemahan, melainkan sebuah manifestasi dari penghargaan mendalam kita terhadap kehidupan. Dengan memahami kompleksitas ketakutan ini, kita dapat mulai merangkulnya sebagai bagian integral dari keberadaan kita, bukan sebagai musuh yang harus dikalahkan. Kematian adalah penyempurna kehidupan, memberikan makna dan urgensi pada setiap momen yang kita miliki.

Maka, sepatutnya kita tidak hanya melihat kematian sebagai akhir yang mengerikan, tetapi juga sebagai cermin yang memantulkan nilai sejati dari kehidupan. Setiap ketakutan yang kita rasakan adalah pengingat bahwa hidup adalah anugerah yang harus dihargai, bukan disia-siakan. Di tengah bayang-bayang kematian yang terus mengintai, mari kita tumbuhkan keberanian untuk hidup sepenuhnya, mencintai tanpa batas, dan menciptakan jejak yang abadi. Sebab, pada akhirnya, bukan ketiadaan yang harus kita takuti, melainkan hidup yang kita jalani tanpa arti.


Referensi:
• Becker, E. (1973). The Denial of Death. Free Press.
• Wilson, J. P., & Dawkings, L. F. (2023). "The evolutionary basis of mortality salience: A cross-cultural perspective." Journal of Evolutionary Psychology and Behavior, 15(3), 112-128.
• Herman, R. S. (2022). "Social bonds and the terror of demise: A study on fear of death in relational contexts." The Social Psychology Review, 9(1), 55-70.
______________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID