Oleh: Makin Perdana Kusuma – Depok, 19 Agustus 2025.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat wilayah keghaiban Tuhan semakin hari semakin tergerus. Apa-apa yang dahulu hanya menjadi rahasia dan kuasa illahi semata, kini sudah banyak yang bisa dipahami, dijelaskan, dikendalikan, bahkan direkayasa oleh manusia (Harari, 2017). Saat ini teknologi membuka gerbang menuju sebuah wacana yang menggetarkan jiwa: kemungkinan manusia hidup abadi. Melalui sihir sains bernama rekayasa genetika, transfer kesadaran, dan kecerdasan buatan, kita seolah diajak untuk mengintip ke dalam cermin portal ke masa depan di mana kematian hanyalah mitos yang usang. Di satu sisi, gagasan ini menawarkan janji yang memabukkan: membebaskan kita dari rantai biologis, memperpanjang setiap kisah manusia, dan menaklukkan batas kematian yang selama ini tak terhindarkan. Namun, di balik janji manis itu, muncullah pertanyaan yang menusuk relung hati: apakah keabadian akan membawa kita pada kebahagiaan hakiki, atau justru melemparkan kita ke jurang penderitaan eksistensial yang tak berujung? Seperti yang diperingatkan oleh Harari (2017), pencarian keabadian adalah bagian dari ambisi "Homo Deus"—manusia yang ingin menyamai Tuhan—namun pencapaian itu bisa meruntuhkan tatanan sosial dan psikologis yang kita kenal.
Secara psikologis, kebahagiaan manusia sesungguhnya tidak terikat pada durasi hidup, melainkan pada kedalaman makna yang ditemukan di dalamnya. Viktor Frankl (2006), seorang psikolog ternama, pernah menyatakan bahwa penderitaan menjadi tak tertahankan bukan karena lamanya, tetapi karena kehilangan makna. Dalam konteks keabadian, ancaman terbesar bukanlah kematian, melainkan kehampaan. Jika hidup yang tak berujung tidak disertai dengan tujuan yang terus tumbuh dan berkembang, maka kebosanan yang tak terperi dan kehampaan eksistensial bisa menjadi momok yang jauh lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Keabadian bisa menghilangkan urgensi yang selama ini mendorong kita untuk bertindak, menciptakan, dan mencintai, karena tidak ada lagi batas waktu yang memaksa kita untuk merefleksikan dan melakukan hal-hal bermakna. Tanpa garis akhir, setiap langkah menjadi tidak berharga, dan setiap momen kehilangan ketajamannya.
Dari sudut pandang eksistensial, kematian justru memberi nilai pada kehidupan. Martin Heidegger (1962) berpendapat bahwa kesadaran akan kematian membuat manusia “authentic”—hidup dengan kesadaran penuh terhadap keterbatasan waktu dan tanggung jawab. Jika kematian dihapus, maka orientasi eksistensial manusia bisa bergeser menjadi penundaan terus-menerus, menghindari keputusan, dan kehilangan intensitas hidup. Dalam dunia yang serba tak terduga dan di luar kendali, keabadian bisa memperpanjang ketidakpastian tanpa akhir. Tanpa adanya kematian, selama hidup di dunia kita akan kehilangan urgensi, kehilangan arah, kehilangan gairah untuk mengisinya dengan makna. Keabadian justru dapat menimbulkan hilangnya kendali diri, serta menciptakan rasa frustrasi berkepanjangan di tengah kehidupan dunia yang serba tidak bisa diduga, yang sebagian besar di luar kendali manusia.
Secara sosial, hidup abadi juga menimbulkan dilema etis dan ketimpangan. Siapa yang berhak hidup abadi? Apakah hanya mereka yang mampu membeli teknologi tersebut? Menurut Bostrom (2005), teknologi transhumanisme bisa memperbesar kesenjangan antara manusia “enhanced” dan manusia biasa. Ketika sebagian orang hidup abadi dan sebagian tetap fana, konflik sosial dan moral bisa meningkat. Kebahagiaan tidak hanya soal umur panjang, tetapi juga soal keadilan dan relasi antar manusia.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang hidup abadi bukanlah sekadar soal perpanjangan napas, melainkan sebuah pergulatan filosofis yang menggali kedalaman jiwa. Apakah kita siap menyambut fajar yang tak berujung itu, dengan segala konsekuensi psikologis, sosial, dan spiritual yang dibawanya? Seperti yang pernah disiratkan oleh Carl Jung (1961), manusia sering kali melarikan diri dari bayang-bayang dirinya sendiri. Jika kita memperpanjang usia tanpa memperdalam kesadaran, maka keabadian bisa berubah menjadi penjara penderitaan yang tak bertepi. Teknologi mungkin mampu memberikan kita waktu yang tak terhitung, tetapi hanya kesadaran yang dapat mengisi setiap detik itu dengan makna.
Referensi:
- Bostrom, N. (2005). In defense of posthuman dignity. Bioethics, 19(3), 202–214.
- Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.
- Harari, Y. N. (2017). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. London: Vintage.
- Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
- Jung, C. G. (1961). Memories, Dreams, Reflections. New York: Vintage Books
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header