Breaking News

KEMERDEKAAN: ANTARA KIBARAN BENDERA DAN PEMBEBASAN JIWA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 1 Agustus 2025.
Memasuki bulan Agustus, ketika merah putih berkibar gagah di setiap penjuru, jiwa-jiwa bangsa Indonesia bersiap merayakan detik-detik sakral kemerdekaan. Ini adalah ritual tahunan, sebuah ziarah kolektif mengenang pekik semangat perjuangan dan tetesan darah yang membebaskan raga dari belenggu penjajahan. Namun, di balik semarak pesta dan gema lagu kebangsaan, sebuah pertanyaan berbisik lirih: Apakah kemerdekaan hanya tentang terlepasnya rantai fisik dan teritorial? Ataukah ada dimensi lain, sebuah kemerdekaan sejati yang merentang jauh melampaui batas-batas negara, menyentuh relung-relung terdalam jiwa? Dua makna, dua cakrawala, saling berinteraksi membentuk lanskap kebebasan yang lebih utuh bagi raga dan jiwa.

"Kemerdekaan menurut bangsa Indonesia adalah pembebasan dari penjajahan, sebuah proklamasi kedaulatan yang mengukuhkan hak untuk menentukan nasib sendiri." Tanggal 17 Agustus 1945 bukan sekadar tanggal, melainkan titik balik epik dari penindasan menuju martabat. Makna ini mencakup pembentukan negara-bangsa yang berdaulat, penegakan hukum sendiri, dan pembangunan identitas nasional yang utuh (Ricklefs, 2008). Ini adalah kemerdekaan yang bersifat kolektif, terwujud dalam institusi negara, sistem pemerintahan, dan hak-hak sipil yang dijamin.

Selanjutnya, makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa seperti Indonesia berarti hak untuk menentukan nasib sendiri di kancah global, membangun identitas dan budaya tanpa intervensi asing, serta mengejar kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. "Ini berarti hak untuk menentukan nasib sendiri, membangun identitas nasional, dan mewujudkan keadilan sosial." Kemerdekaan politik menjadi fondasi bagi pembangunan di berbagai sektor, dari pendidikan hingga ekonomi, untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia (Anderson, 1991).

Namun, di balik perayaan fisik dan politik, ada dimensi kemerdekaan yang lebih dalam, yang seringkali terabaikan, yakni kemerdekaan batin. "Kemerdekaan sejati adalah pembebasan dari belenggu batin sendiri." Ini adalah kebebasan dari ego yang memenjara, dari tuntutan nafsu yang tak pernah puas, dari jerat ketakutan, kecemasan, kemarahan, dendam, sakit hati, penyesalan, perasaan kalah, perasaan salah, dan keterikatan yang mengikat jiwa. Belenggu ini tak terlihat oleh mata telanjang, namun dampaknya terasa mendalam, merampas kedamaian sejati meskipun kita hidup di negara yang bebas. Dalam banyak tradisi spiritual, kebebasan sejati dipahami sebagai kondisi di mana individu tidak lagi dikendalikan oleh fluktuasi pikiran dan emosi mereka (Watts, 1957).

Perjalanan menuju kemerdekaan sejati adalah proses introspeksi dan penyingkapan diri. "Ini adalah perjalanan penyingkapan diri, di mana seseorang belajar untuk mengamati pikiran tanpa menghakimi, melepaskan keterikatan, dan menemukan inti diri yang abadi." Praktik seperti meditasi dan mindfulness menjadi alat untuk mencapai pembebasan ini, memungkinkan individu untuk melepaskan diri dari siklus penderitaan yang diciptakan oleh pikiran sendiri (Kabat-Zinn, 2017). Melalui pemahaman bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada kondisi eksternal, melainkan pada keadaan batin, seseorang mencapai kebebasan dari belenggu eksistensial.

Perbandingan antara dua makna kemerdekaan ini mengungkapkan sinergi yang mendalam. Kemerdekaan nasional memberikan ruang fisik dan sosial bagi individu untuk tumbuh dan berkembang tanpa tekanan eksternal. Di dalam ruang kebebasan politik ini, individu memiliki kesempatan untuk mengejar kemerdekaan spiritual mereka. Sebaliknya, individu yang telah mencapai tingkat kemerdekaan batin memiliki potensi lebih besar untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa secara holistik, membawa kebijaksanaan, belas kasih, dan ketenangan yang tidak terpengaruh oleh gejolak dunia. Kemerdekaan bangsa tanpa kemerdekaan jiwa mungkin terasa hampa, seperti sangkar emas yang indah namun tetap sebuah sangkar yang mengungkung jiwa.

Sebagai konklusi, perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025 bagi bangsa Indonesia adalah momen penting untuk merayakan pembebasan dari tirani eksternal. Namun, lebih dari itu, ia juga harus menjadi pengingat akan panggilan untuk membebaskan diri dari tirani internal—belenggu ego, kemarahan, ketakutan, kemelekatan, dan ilusi yang membatasi potensi sejati. Dengan mengintegrasikan kedua makna kemerdekaan ini, bangsa Indonesia dapat tidak hanya merdeka secara politik dan ekonomi, tetapi juga secara spiritual, mewujudkan keutuhan yang sejati.

Maka, ketika sang saka Merah Putih berkibar megah di angkasa, ia bukan hanya simbol kebebasan dari penjajah, melainkan juga panji yang mengajak kita pada perjalanan menuju kebebasan sejati dari belenggu dalam diri. Ini adalah ajakan untuk melampaui riuhnya perayaan, untuk merenungkan kedalaman jiwa yang merdeka, yang tak terikat oleh apapun, kecuali kebenaran dirinya sendiri. Inilah esensi kemerdekaan paripurna: sebuah bangsa yang bebas dan jiwa-jiwa di dalamnya yang juga menemukan kebebasan hakiki, menari dalam harmoni antara takdir kolektif dan pencerahan individu, mengukir kisah kemerdekaan yang abadi dan tak tergoyahkan.


Referensi:
• Anderson, B. R. O'G. (1991). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso.
• Kabat-Zinn, J. (2017). Full Catastrophe Living (Revised Edition): Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. Bantam.
• Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press.
• Watts, A. (1957). The Way of Zen. Pantheon Books.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID