Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 16 Agustus 2025.
Manusia modern berjalan di atas karpet empuk peradaban, namun jiwanya sering kali telanjang dan menggigil, gelisah, tak pernah benar-benar merasa bahagia. Di balik kursi dan kasur yang nyaman, makanan yang lezat, ruangan yang sejuk, dan hiburan yang banyak dan bervariasi, tersembunyi rasa lapar yang tak kunjung kenyang. Seperti anak sungai yang terus mengalir mencari muara, manusia terus menambah dosis kenikmatan, berharap menemukan kebahagiaan di ujungnya. “Daya adaptasi alamiah (hedonic adaptation) manusia membuat kenyamanan dan kenikmatan eksternal menjadi cepat terasa biasa dan hambar, mendorong manusia untuk terus meningkatkan dosis dan intensitasnya,” tulis Brickman dan Campbell dalam Journal of Personality and Social Psychology (1971). Maka, kenyamanan dan kenikmatan bukanlah akhir, melainkan awal dari kecanduan panjang yang halus tak terasa dan kolektif.
Kecanduan terhadap makanan enak dan berlimpah bukan hanya soal selera, tetapi tentang pelarian dari lelahnya pikiran yang selalu sibuk melawan dan menolak keadaan, dari rasa kurang, dari kekosongan batin. “Konsumsi berlebih sering kali menjadi kompensasi atas berkabutnya pikiran dan kekurangan makna dalam hidup,” ungkap Baumeister dalam Meaning of Life (1991). Ketika rasa lapar bukan lagi soal nutrisi, melainkan masalah eksistensial, maka makanan menjadi pelipur lara. Namun di bawah kuasa “hedonic adaptation”, pelipur itu pasti akan cepat pudar, dan manusia kembali mencari rasa yang lebih kuat, lebih baru, lebih menggoda, dan porsi yang lebih besar.
Kenyamanan fisik—sofa dan kasur empuk, suhu ruangan ideal, pencahayaan lembut—menjadi standar baru yang tak lagi memberi rasa syukur, telah menjadi hal biasa yang tak perlu ditakjubi maupun diapresiasi . “Adaptasi terhadap kenyamanan menciptakan ambang baru yang terus naik, membuat manusia kehilangan sensitivitas terhadap nikmat sederhana,” tulis Veenhoven dalam Social Indicators Research (2008). Ketika tubuh terbiasa dimanja, maka ketidaknyamanan sekecil apapun terasa seperti penderitaan. Di sinilah manusia menjadi tawanan dari kenyamanan yang ia ciptakan sendiri.
Kecanduan terhadap kecepatan dan distraksi digital mempercepat ritme hidup, namun merenggut kedalaman rasa. “Paparan terus-menerus terhadap stimulus digital mengurangi kapasitas atensi dan refleksi,” tulis Rosen dalam The Distracted Mind (2016). Hiburan menjadi candu, bukan karena isinya, tetapi karena kemampuannya menunda kesunyian dan keheningan. Manusia tidak lagi terbiasa mencari makna dalam keheningan reflektif, dan cenderung lari dari keheningan. Kesendirian, kesunyian dan keheningan menjadi mahluk asing yang tidak menyamankan, yang menakutkan, yang harus dilawan dan dibasmi dengan distraksi.
Sesungguhnya, kebahagiaan yang bergantung pada alat bantu eksternal adalah kebahagiaan yang rapuh. “Kebahagiaan sejati bersumber dari kondisi batin yang jernih dan stabil, bukan dari intensitas rangsangan eksternal,” tulis Ryan dan Deci dalam Annual Review of Psychology (2001). Ketika manusia menggantungkan rasa bahagia pada benda, teknologi, atau situasi, maka ia menyerahkan kendali atas jiwanya kepada dunia luar. Dan dunia luar, seperti kita tahu, sebagian besar di luar kendali manusia, selalu berubah dan tak bisa dijinakkan sepenuhnya.
Dan di sinilah kita berdiri, di antara tumpukan kenikmatan dan kekosongan yang tak terucap. Apakah kita benar-benar bahagia, atau hanya sedang “fly” dibius oleh kenikmatan yang terus meningkat dosisnya? Mungkin, pencarian sejati manusia bukanlah tentang menambah kenikmatan, tetapi tentang mengurangi ketergantungan. Di dunia yang sibuk menciptakan alat bantu kebahagiaan, barangkali yang paling revolusioner adalah duduk diam, memeluk keheningan, dan dalam kejernihan dan ketakziman mengembangkan rasa cukup dengan cara sederhana pada yang sederhana.
Referensi:
• Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic relativism and planning the good society. Journal of Personality and Social Psychology, 35(3), 307–316.
• Baumeister, R. F. (1991). Meanings of Life. Guilford Press.
• Veenhoven, R. (2008). Sociological theories of subjective well-being. Social Indicators Research, 85(1), 33–45.
• Rosen, L. D. (2016). The Distracted Mind: Ancient Brains in a High-Tech World. MIT Press.
• Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials. Annual Review of Psychology, 52, 141–166.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header