Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 25 Agustus 2025.
Di tengah riuh dunia yang tak pernah benar-benar diam, keluarga seharusnya menjadi tempat pulang yang tenang dan menenangkan, tempat jiwa yang lelah bersandar dan menyeka luka. Namun kini, rumah tak lagi memiliki keheningan yang penuh dengan hangatnya cahaya cinta; ia dipenuhi cahaya biru dari layar-layar kecil yang merampas perhatian dan perasaan. Seperti pelaut yang kehilangan bintang penunjuk arah, manusia modern terombang-ambing dalam samudra digital, dan keluarga yang dulu menjadi pelabuhan kini hanya menjadi persinggahan. “Keluarga telah kehilangan fungsi emosionalnya karena dominasi teknologi dalam ruang privat,” tulis Turkle (2011). Di era digital ini, keintiman digantikan oleh konektivitas, dan kehadiran berubah menjadi notifikasi.
Interaksi dalam keluarga semakin tergantikan oleh interaksi virtual. Anak-anak lebih mengenali avatar daripada tambahan kerutan di wajah ayahnya atau tambahan uban di kepala ibunya, dan orang tua lebih sibuk dengan pesan singkat, email maupun platform digital kantor daripada mendengar cerita keseruan kegiatan ekstra kurikuler anaknya. “Teknologi digital telah mengubah pola komunikasi keluarga menjadi fragmental dan dangkal,” ujar Coyne et al. (2014). Ketika setiap anggota keluarga tenggelam dalam dunianya sendiri, rumah menjadi tempat yang penuh tubuh namun kosong jiwa. Studi oleh Kardefelt-Winther (2017) menunjukkan bahwa “Penggunaan gawai yang berlebihan dalam keluarga berdampak pada penurunan kualitas hubungan interpersonal.” (Kardefelt-Winther, 2017). Kita hidup bersama, namun tidak benar-benar hadir.
Kehadiran emosional dalam keluarga adalah fondasi yang tak tergantikan oleh teknologi. “Kehangatan dan dukungan keluarga memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental individu,” tulis Walsh (2020). Namun, ketika perhatian lebih banyak diberikan pada dunia luar daripada dunia dalam rumah, ikatan pun mulai mengendur. Penelitian oleh Twenge et al. (2019) menunjukkan bahwa “Generasi yang tumbuh dalam lingkungan digital cenderung mengalami kesulitan dalam membangun relasi yang mendalam.” (Twenge et al., 2019). Keluarga yang seharusnya menjadi ruang pemulihan dan pertumbuhan jiwa justru cenderung hanya menjadi tempat untuk membesarkan tubuh, tidak lagi menumbuhkan jiwa yang utuh.
Konklusi dari fenomena ini adalah bahwa keluarga harus merebut kembali ruangnya sebagai tempat berlabuh. “Reorientasi nilai dalam keluarga sangat penting untuk mengembalikan fungsi emosional dan sosialnya,” tegas Nussbaum (2010). Teknologi bukan untuk dihapus, tetapi untuk dijinakkan. Keluarga perlu menciptakan momen tanpa layar, ruang untuk mendengar, dan waktu untuk benar-benar hadir. Dalam dunia yang semakin cepat, justru keluarga harus menjadi lambat—agar makna tak terlewatkan.
Dan kini, saat kita menatap layar yang tak pernah padam, mari kita bertanya: apakah kita masih merasakan dan merayakan suara tawa di ruang makan, atau hanya suara denting notifikasi di ruang sunyi tanpa hati? Keluarga bukan sekadar tempat tinggal, ia adalah tempat hidup. Di sanalah jiwa menemukan cermin, bukan bayangan. Jika kita ingin kembali pulang, maka kita harus belajar hadir sepenuhnya. Sebab rumah bukanlah sekedar bangunan, melainkan tempat perjumpaan jiwa-jiwa yang tak pernah menuntut apa pun selain kehangatan rasa. Seperti kata Cecelia Ahern (2003), “Home isn't a place, it’s a feeling”.
Referensi:
• Ahern, C. (2003). PS, I Love You. HarperCollins Publishers - London.
• Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books.
• Coyne, S. M., Padilla-Walker, L. M., & Howard, E. (2014). “Emerging in a Digital World: A Decade Review of Media Use, Effects, and Gratifications in Emerging Adulthood.” Emerging Adulthood, 2(1), 63–73.
• Kardefelt-Winther, D. (2017). “How Does the Time Children Spend Using Digital Technology Impact Their Mental Well-being, Social Relationships and Physical Activity?” UNICEF Office of Research – Innocenti Discussion Paper.
• Walsh, F. (2020). “Family Resilience: A Framework for Clinical Practice.” Family Process, 59(3), 695–712.
• Twenge, J. M., Spitzberg, B. H., & Campbell, W. K. (2019). “Less In-Person Social Interaction with Peers Among U.S. Adolescents in the 21st Century and Links to Loneliness.” Journal of Social and Personal Relationships, 36(6), 1892–1913.
• Nussbaum, M. C. (2010). Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities. Princeton University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header