Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 28 Agustus 2025.
Hidup bukanlah garis lurus menuju tujuan, melainkan sungai yang mengalir melalui lembah dan tebing, kadang jernih, kadang keruh. Ia adalah tarian antara cahaya dan bayangan, antara tawa dan tangis, antara harapan dan kehilangan. Kita tidak dilahirkan untuk sekadar menikmati hidup, tetapi juga untuk menjalani penderitaan hidup—karena di sanalah jiwa ditempa, dibuka, dan dibebaskan. “Keterbukaan terhadap penderitaan adalah jalan menuju kedalaman eksistensial,” tulis Frankl (2006), menegaskan bahwa makna hidup sering kali ditemukan bukan dalam kenyamanan, melainkan dalam keberanian menghadapi luka.
Dalam psikologi kontemplatif, pengalaman hidup yang utuh mencakup penerimaan terhadap dualitas: suka dan duka, berhasil dan gagal, terang dan gelap. “Keseimbangan emosional bukan berasal dari menghindari penderitaan, tetapi dari kemampuan untuk hadir sepenuhnya di dalamnya,” ujar Siegel (2020). Ketika kita hanya mengejar kebahagiaan dan menolak kesedihan, kita menciptakan fragmentasi batin. Hidup yang utuh adalah hidup yang tidak memilah-milah dan memilih-milih rasa, melainkan membiarkan semuanya mengalir dan membentuk kita sebagai manusia. Sebab, seperti apapun upaya kita untuk memilah dan memilih, musim kehidupan pasti akan tetap datang dan terjadi kepada setiap manusia.
Filsafat eksistensial juga menegaskan bahwa penderitaan bukanlah musuh, melainkan bagian dari proses menjadi manusia. “Manusia tidak bisa memahami dirinya sendiri tanpa memahami penderitaannya,” tulis Sartre (1943). Dalam penderitaan, kita menemukan batas dan kemungkinan, kita belajar tentang kehendak, tentang makna, tentang cinta yang tidak bersyarat. Hidup yang hanya berisi kenikmatan adalah hidup yang dangkal, karena tidak memberi ruang bagi kontemplasi dan transformasi.
Konklusinya, hidup sebagai pengalaman yang penuh dan utuh menuntut kita untuk hadir secara radikal—tidak hanya dalam momen bahagia, tetapi juga dalam momen kesedihan. “Kebebasan sejati lahir ketika kita tidak lagi melawan kenyataan, tetapi memeluknya,” tulis Tolle (2005). Ketika kita berhenti membagi hidup menjadi ‘baik’ dan ‘buruk’, dan mulai melihatnya sebagai satu kesatuan yang suci, maka kita mulai hidup dengan kesadaran yang membebaskan.
Dan mungkin, di sanalah letak kebijaksanaan terdalam: bahwa hidup bukan untuk dilawan, dikendalikan, tetapi untuk dialami. Bahwa jiwa tidak tumbuh dalam pelarian, tetapi dalam keberanian untuk tinggal dan menghadapi, menjalani, mengalami, merasakan kehidupan sepenuhnya. Ketika kita membuka diri sepenuhnya terhadap dualitas hidup—menikmati dan menderita, tertawa dan menangis—kita tidak hanya menjadi manusia yang utuh, tetapi juga menjadi jiwa yang bebas. Di titik itu, hidup bukan lagi soal tujuan (becoming), melainkan tentang keberadaan (being) dengan kehadiran yang penuh dan utuh di semua fase, sisi, kondisi, rasa, musim, dan lanskap kehidupan.
Referensi:
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Siegel, D. J. (2020). The Power of Showing Up. Ballantine Books.
• Sartre, J. P. (1943). Being and Nothingness. Routledge.
• Tolle, E. (2005). A New Earth: Awakening to Your Life’s Purpose. Penguin Group.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header