Breaking News

APAKAH RINDU MASIH SEBERAT DULU ?


Oleh: Makin Perdana Kusuma – Depok, 26 Agustus 2025.
Di zaman ketika jarak bisa dilipat menjadi tak berarti oleh teknologi transportasi, tatap muka maya bisa dilakukan secara real time, dan teks, suara dan gambar bisa melintasi benua dalam hitungan detik, apakah rindu masih seberat dulu? Apakah ia masih memiliki ruang untuk tumbuh? Dahulu, rindu adalah musim paceklik panjang yang mengendap di dada, menunggu surat tiba, menanti langkah pulang. Kini, rindu dengan segala ritual penebusannya itu terfasilitasi oleh notifikasi yang bisa dengan cepat dibaca lalu dilupakan. Rindu, yang dulu adalah puisi, kini mungkin hanya menjadi emoji. Seperti hujan yang tak sempat meresap ke tanah, kini peradaban telah membuat rindu tak lagi sembilu, tak sampai menjadi luka yang menganga. “Rindu adalah intensitas yang lahir dari keterbatasan,” tulis Turkle (2011) dalam refleksinya tentang koneksi digital dan keintiman. Ketika keterbatasan itu menghilang, apakah intensitasnya ikut menipis?

Dalam studi psikologi komunikasi, ditemukan bahwa “frekuensi komunikasi tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman emosional” (Baym, 2015). Artinya, meski kita bisa berbicara setiap hari melalui teknologi, rasa rindu bisa tetap ada. Rindu bukan sekadar tidak berkomunikasi, tapi tentang ketidakhadiran yang dirasakan secara eksistensial. Ketika kehadiran virtual menggantikan kehadiran fisik, tubuh kehilangan konteksnya sebagai medium kerinduan. “Tubuh adalah tanah tempat tumbuhnya rindu,” tulis Scannell (2020) dalam kajian tentang kehadiran dan ruang digital. Tanpa tubuh, rindu kehilangan lahan, kehilangan medan. Sebab, secara primordial pada dasarnya rindu adalah terjaraknya badan. Dan puncak dari seluruh ritual penebusan atas setiap kerinduan adalah perjumpaan badan.

Kemajuan teknologi tidak membuat rindu mati. Ia hanya bermetamorfosis. Dalam era digital, rindu bisa hadir dalam bentuk lain: dalam pesan singkat yang belum dibaca, voice note yang tak dibalas, dalam status yang tak ditujukan untuk kita, dalam panggilan video yang terasa hampa. “Rindu kini adalah kekosongan yang tetap hadir di tengah koneksi,” ujar Madianou & Miller (2012) dalam studi mereka tentang komunikasi transnasional. Deflasi rindu bukan berarti hilangnya nilai, melainkan pergeseran bentuk dan cara kita mengartikulasikannya.

Konklusinya, rindu tidak mengalami deflasi dalam makna yang menyiratkan penurunan nilai absolut. Ia hanya mengalami transfigurasi: dari surat menjadi sinyal, dari jarak menjadi jeda emosional. “Rindu akan tetap menjadi produk batin manusia dari masa ke masa, meski dunia nyata dan dunia maya semakin ramai,” tulis Gergen (2002) dalam analisisnya tentang saturasi hubungan sosial. Yang berubah adalah cara kita mengakses dan memaknai rindu, bukan substansinya.

Maka, seberapa maju dan canggihnya teknologi komunikasi dan kecerdasan buatan, dia tak akan bisa membunuh rindu. Penyimpanan dan pengolahan data, informasi dan ilmu pengetahuan serta pekerjaan manusia bisa saja diambil alih oleh teknologi dan kecerdasan buatan, tapi rindu akan tetap menjadi milik manusia. Kecerdasan buatan tidak akan pernah mampu memahami perihnya sayatan-sayatan halus dari keterjarakan, aliran dan getaran lembut dari kenangan yang bersemi kembali, atau pahit-manisnya penantian. Sebab, rindu bukanlah algoritma; ia adalah ruang kosong yang diciptakan oleh ketiadaan, sebuah sayatan jiwa yang menuntut kehadiran. Ia adalah bukti bahwa kita memiliki jiwa, yang terikat pada rasa dan makna. Ia berkisah tentang ketidaksempurnaan yang sempurna dari rancangan agung jiwa-jiwa yang memiliki dan memancarkan cinta-kasih, lalu kehilangan, dan saling menanti. Rindu adalah salah satu tanda bahwa kita masih manusia, yang mencipta makna, dan saling memberi makna.

Referensi:
• Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books.
• Baym, N. K. (2015). Personal Connections in the Digital Age (2nd ed.). Polity Press.
• Scannell, J. (2020). Digital Hermeneutics: Philosophical Investigations in New Media. Routledge.
• Madianou, M., & Miller, D. (2012). Migration and New Media: Transnational Families and Polymedia. Routledge.
• Gergen, K. J. (2002). The Saturated Self: Dilemmas of Identity in Contemporary Life. Basic Books.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID