Breaking News

“THE OK OF NOT OK”


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 4 Juli 2025
Di era “gemuruh media sosial” dan tuntutan “perfeksionisme yang menyesatkan dan menyesakkan”, kita acap kali terperangkap dalam ilusi bahwa hidup harus serba indah-mempesona, serba senantiasa baik-baik saja, “serba sempurna tanpa cela”. Senyum di setiap foto, narasi kesuksesan yang tiada henti, dan citra diri yang selalu hebat dan kuat—ini semua membentuk “tirai fatamorgana” yang menyembunyikan realitas batin. Kita terpaksa mengenakan topeng, berpura-pura baik-baik saja di tengah badai, takut akan stigma “kelemahan” dan penolakan. Padahal, justru dalam kerentanan, dalam pengakuan bahwa “kita tidak selalu baik-baik saja”, terletak gerbang menuju pemahaman diri yang otentik dan kebahagiaan yang lebih mendalam.

Konsep "The OK of not OK" merupakan antitesis dari "budaya positivitas toksik" (Toxic Positivity) yang mendominasi wacana modern, di mana "emosi negatif diabaikan atau ditekan" (Quintero, 2021). Psikologi positif, yang awalnya bertujuan untuk "meningkatkan kesejahteraan" (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000), seringkali disalahartikan sebagai kewajiban untuk "selalu bahagia dan optimistis", mengabaikan kompleksitas pengalaman emosional manusia. Akibatnya, individu merasa tertekan untuk "menyembunyikan kesedihan, kecemasan, atau kegagalan" demi citra yang diterima secara sosial (Hewitt & Flett, 2002).

Pengakuan bahwa "tidak baik-baik saja itu tidak apa-apa" adalah langkah penting menuju "kesehatan mental yang lebih baik" (American Psychological Association, 2013). Menyembunyikan perasaan negatif dapat menyebabkan "akumulasi stres dan kecemasan" (Gross, 1998) yang pada akhirnya merugikan kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, "validasi emosi" (Linehan, 1993), baik dari diri sendiri maupun dari orang lain, memungkinkan individu untuk "memproses pengalaman traumatis atau sulit" dan bergerak maju. Ini adalah bagian dari "kecerdasan emosional" (Goleman, 1995) yang memungkinkan kita untuk mengenali dan mengelola emosi secara sehat.

Dari perspektif sosiologis, “perfeksionisme sosial” (Hewitt & Flett, 2002) adalah pendorong utama di balik keinginan untuk selalu tampak baik-baik saja. Individu merasakan "tekanan eksternal untuk memenuhi standar yang tidak realistis" yang ditetapkan oleh masyarakat, media, atau kelompok sebaya. Media sosial, dengan "algoritma yang mempromosikan citra ideal" (Chayko, 2017), memperparah fenomena ini, menciptakan "lingkaran setan perbandingan sosial" (Festinger, 1954) yang tiada henti. Mengakui bahwa tidak baik-baik saja berarti "membebaskan diri dari beban ekspektasi yang tidak masuk akal" ini.

Filosofi di balik "The OK of not OK" sejajar dengan gagasan "penerimaan radikal" (radical acceptance) dalam terapi (Marra, 2012), yang mengajarkan untuk "menerima realitas sebagaimana adanya", termasuk pengalaman yang tidak menyenangkan. Ini bukan berarti menyerah pada keadaan, melainkan "menghentikan perjuangan melawan apa yang sudah terjadi", sehingga energi bisa dialihkan untuk penanganan atau perubahan yang konstruktif. Mengizinkan diri untuk merasa "tidak baik-baik saja" adalah wujud dari "self-compassion" (Neff, 2003), memperlakukan diri dengan “kebaikan dan pengertian" di saat-saat sulit, layaknya kepada seorang teman yang sedang menderita.

Pada akhirnya, di tengah riuh rendah dunia yang mendesak kita untuk selalu tersenyum, berprestasi, dan tampil sempurna, "The OK of not OK" adalah sebuah bisikan lembut, pengingat akan kebenaran universal tentang kerapuhan manusia. Ini adalah “penerimaan yang membebaskan”, yang dalam bahasa agama disebut dengan “ridha/ikhlas” (total acceptance), sebuah izin bagi diri untuk menjadi otentik—dengan segala luka, keraguan, dan ketidaksempurnaan. Di sanalah, dalam pelukan jujur atas kegagalan dan kesedihan, kita menemukan “kekuatan yang sejati”, yang jauh melampaui topeng kepalsuan. Seperti sungai yang mengalir, kebahagiaan sejati tidak selalu berarti tanpa riak, namun mengalir bersama arusnya, mengakui setiap belokan, setiap batu, dan setiap hulu, hingga akhirnya menemukan muaranya sendiri, dalam penerimaan yang utuh dan damai. Dengan kesadaran dan ketakziman, mengalun, mengalir sebagai manusia yang utuh dan penuh.

------SELESAI------

Referensi:
• American Psychological Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). American Psychiatric Publishing.1
• Chayko, M. (2017). Superconnected: The Internet, digital media, and technosocial life. SAGE Publications.
• Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140.
• Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. Bantam Books.
• Gross, J. J. (1998). The emotional dynamics of emotion regulation. Emotion, 12(4), 875–885.
• Hewitt, P. L., & Flett, G. L. (2002). Perfectionism and stress. In J. C. Quick & L. E. Tetrick (Eds.), Handbook of occupational health psychology (pp. 37–62). American Psychological Association.
• Linehan, M. M. (1993). Cognitive-behavioral treatment of borderline personality disorder. Guilford Press.
• Marra, T. (2012). Radical acceptance: Embracing your life with the heart of a Buddha. Shambhala Publications.
• Neff, K. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2(2), 85–101.2
• Quintero, C. (2021). Toxic positivity: The hidden dangers of forced optimism. TarcherPerigee.
• Seligman, M. E. P., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive psychology: An introduction. American Psychologist, 55(1), 5–14.
___________________________________________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID