Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 10 Juli 2025
Laksana lukisan kuno yang warnanya perlahan memudar, Jepang, negeri Matahari Terbit yang pernah menjadi mercusuar keajaiban ekonomi pasca-perang dunia II, kini menghadapi “senja yang panjang” nan kompleks. Dari luar, citra Jepang masih kokoh, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang menempatkannya sebagai kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia (World Bank, 2024), setelah USA dan China. Namun, di balik angka-angka makro yang impresif itu, tersembunyi jaring-jaring masalah yang saling terkait: “depopulasi”, “stagnasi ekonomi” yang diwarnai “investasi dan tingkat konsumsi rendah”, “sistem keuangan yang gagal mendorong pertumbuhan”, serta beban berat “jam kerja panjang” dan “tingkat stres warga negara yang tinggi”. Ini adalah “drama pahit” tentang sebuah bangsa yang berjuang mempertahankan kejayaannya di hadapan perubahan demografi, struktural dan perkembangan regional dan internasional yang tak terhindarkan. Sebuah simfoni melankolis yang mengiringi surutnya ombak kejayaan.
Fenomena “depopulasi” adalah akar dari banyak masalah Jepang. Dengan tingkat kelahiran yang terus menurun dan populasi menua yang signifikan, Jepang menghadapi “krisis demografi” yang serius (National Institute of Population and Social Security Research, 2020). Penurunan jumlah penduduk usia produktif berarti basis pajak yang menyusut, beban sistem pensiun dan layanan kesehatan yang membengkak, serta kekurangan tenaga kerja yang kritis di berbagai sektor (OECD, 2019). Dampaknya langsung terasa pada “stagnasi ekonomi”, karena “tingkat konsumsi rendah” akibat populasi yang menua dan kurangnya dinamika pasar yang didorong oleh generasi muda (Krugman, 1998, Liquidity Trap). Selain itu, “investasi domestik yang rendah” juga menjadi cerminan pesimisme terhadap pertumbuhan masa depan di tengah pasar domestik yang menyusut.
Sistem keuangan Jepang, meskipun stabil, sering dikritik karena “gagal mendorong pertumbuhan ekonomi”. Bank-bank besar cenderung konservatif dalam memberikan pinjaman kepada startup atau sektor inovatif yang berisiko tinggi, lebih memilih investasi yang aman dan likuid (Hoshi & Kashyap, 2001). Ini menciptakan “lingkaran setan” di mana perusahaan enggan berinvestasi karena kurangnya permintaan, dan bank enggan membiayai karena prospek pertumbuhan yang stagnan. Akibatnya, modal tidak mengalir ke sektor-sektor yang paling berpotensi menciptakan pertumbuhan dan inovasi baru, menghambat diversifikasi ekonomi.
Di tengah tantangan internal ini, Jepang juga menghadapi gelombang pasang “persaingan global yang intens”, yang semakin menggerus “daya saing industri”-nya. Di sektor otomotif, raksasa tradisional Jepang kini dihadapkan pada ancaman disruptif dari pemain baru seperti Tesla, BYD, dan Geely, yang memimpin revolusi kendaraan listrik (PCauto, 2025; The Japan Times, 2025). Mereka menawarkan model bisnis baru, kecepatan inovasi, dan efisiensi produksi yang menantang dominasi Jepang dalam teknologi konvensional. Di ranah elektronik dan teknologi konsumen, merek-merek ikonik Jepang seperti Sony atau Panasonic harus berjuang keras melawan agresi pasar dari pemain global seperti Samsung, Apple, Huawei, serta Xiaomi dari Tiongkok yang berhasil menembus pasar Jepang yang "sulit" dengan produk kompetitif (Global Times, 2024; Spherical Insights, n.d.). Bangkitnya kekuatan ekonomi dan teknologi dari Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan secara keseluruhan telah mengubah lanskap persaingan, di mana negara-negara ini tidak hanya menjadi pusat manufaktur, tetapi juga inovator yang kuat, menantang hegemoni teknologi Jepang yang sudah berlangsung lama (JIIA, n.d.; BOJ, 2024).
Kombinasi faktor-faktor ini juga membebani masyarakat Jepang secara individu. Budaya kerja yang mementingkan “loyalitas dan dedikasi” seringkali diterjemahkan menjadi “jam kerja panjang” yang ekstrem (Blackwell, 2017, Karoshi). Meskipun dianggap sebagai tanda komitmen, praktik ini berkontribusi pada “tingkat stres warga negara yang tinggi”, masalah kesehatan mental, dan bahkan fenomena karoshi (kematian akibat terlalu banyak bekerja). Stres kronis ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat menurunkan produktivitas jangka panjang dan kualitas inovasi, menciptakan lingkaran umpan balik negatif dengan penurunan daya saing.
Untuk keluar dari jebakan ini, Jepang harus berani mengambil “langkah-langkah radikal” dan komprehensif. Ini termasuk reformasi imigrasi untuk mengatasi depopulasi, restrukturisasi sistem keuangan untuk mendorong investasi pada sektor berisiko tinggi dan startup, serta perubahan budaya kerja yang signifikan untuk mengurangi jam kerja dan memprioritaskan kesejahteraan karyawan (IMF, 2023). Lebih penting lagi, Jepang perlu "meredefinisi strategi inovasi" dan "daya saingnya" di pasar global, mungkin dengan fokus pada area di mana ia masih memiliki keunggulan atau dengan berkolaborasi secara strategis dengan pemain baru. Tantangannya bukan hanya ekonomi, melainkan sosial dan budaya, membutuhkan perubahan paradigma yang mendalam dari semua lapisan masyarakat.
Pada akhirnya, kisah Jepang adalah “cermin bagi dunia” tentang konsekuensi dari dinamika demografi dan kegagalan struktural, diperparah oleh dinamika persaingan global yang tak henti. Ia adalah sirine peringatan yang mengingatkan kita bahwa kesuksesan masa lalu tidak menjamin kejayaan masa depan. Di tengah senja yang memanjang, harapan tetap ada, tersembunyi dalam tekad untuk berinovasi dan beradaptasi. Marilah kita, dengan “kesadaran dan keberanian”, belajar dari pengalaman Jepang. Sebab, hanya dengan berani menghadapi kenyataan pahit dan mengambil langkah transformatif, sebuah bangsa dapat menemukan kembali “fajar baru” dan mengukir babak kejayaan yang lestari, melampaui bayang-bayang masa lalu.
________________________________________
Referensi:
• Blackwell, B. (2017). Karoshi: Death from Overwork in Japan. Routledge.
• Hoshi, T., & Kashyap, A. K. (2001). Corporate Financing and Governance in Japan: The Road to the Future. MIT Press.
• International Monetary Fund (IMF). (2023). Japan: Staff Report for the Article IV Consultation. IMF Publications.
• Japan Automobile Importers Association (JAIA). (2025, April 21). Tesla Sales Surge in Japan, Up 56% in Q1 2025, Surpassing BYD. PCauto. (Diakses dari sumber terkait, merujuk pada data JAIA).
• Japan Institute of International Affairs (JIIA). (n.d.). Chapter 8 Rebuilding Japan's International Competitiveness and Developing Global Human Resources: From the Perspective of Competition with South Korea1 and China. JIIA.
• Krugman, P. (1998). Japan's Trap. The New York Times.
• National Institute of Population and Social Security Research. (2020). Population Projections for Japan. Tokyo: IPSS.
• OECD. (2019). OECD Economic Surveys: Japan. OECD Publishing.
• Spherical Insights. (n.d.). Japan Smartphone Market Share, Size, Trends 2032. Spherical Insights.
• The Japan Times. (2025, March 28). In the EV race, China's BYD is leading the pack. The Japan Times.
• The Global Times. (2024, August 11). Chinese electronics giant Xiaomi becomes 3rd largest smartphone vendor in Japan, after Apple and Google. The Global Times.
• World Bank. (2024). GDP (current US$) - Japan. Diakses dari https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?locations=JP
• Bank of Japan (BOJ). (2024, March 3). Changes in the Global Economic Landscape and Issues for Japan's Economy. Bank of Japan Working Paper Series.
________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header