KETIKA AKAL MENJADI "TUHAN", JIWA TERLUKA
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 18 Juli 2025.
Di tengah gemuruh peradaban yang memuja logika dan data, pikiran manusia seringkali terpaku pada satu altar: altar akal. Kita membangun kuil-kuil rasionalitas, mengukir dogma-dogma keilmiahan yang hanya mengakui apa yang dapat diukur, dijelaskan, dan dikendalikan.
Dalam obsesi ini, kita tanpa sadar telah menciptakan sebuah "agama" baru, sebuah monoteisme akal, di mana akal menjadi satu-satunya Tuhan yang diakui, dan segala yang lain dianggap ilusi atau ancaman. Ini adalah ironi yang menusuk, sebuah paradoks yang diungkapkan oleh Carl Jung: "Agama kita yang sejati saat ini adalah monoteisme akal, kepemilikan olehnya, ditambah dengan penyangkalan fanatik bahwa ada bagian-bagian jiwa yang otonom." Kita terlalu sibuk menyembah permukaan, hingga lupa akan kedalaman samudra jiwa yang tak terselami, sebuah drama batin yang menuntut pengakuan.
Konsep "monoteisme akal" yang diutarakan Jung mengkritik kecenderungan modern untuk mengidolakan akal rasional sebagai satu-satunya "dewa" yang berkuasa, mengabaikan atau bahkan menekan aspek-aspek lain dari jiwa. "Dalam tradisi pemikiran Barat, terutama sejak era Pencerahan, terdapat penekanan yang kuat pada akal budi, logika, dan pikiran sebagai sumber utama kebenaran dan kontrol, seringkali dengan mengorbankan intuisi, emosi, dan dimensi bawah sadar," (McGilchrist, 2009). Kita dididik untuk percaya bahwa segala solusi terletak pada analisis rasional, perencanaan yang matang, dan kontrol diri yang ketat, menciptakan keyakinan bahwa hanya apa yang dapat kita pahami secara sadar yang benar-benar ada dan relevan.
Namun, di balik dominasi akal ini, terdapat "bagian-bagian jiwa yang otonom." Jung menentang gagasan yang menyangkal kekuatan-kekuatan independen dari pikiran bawah sadar, seperti mimpi, insting, kompleks, dan arketipe, yang ia yakini sangat vital untuk keutuhan psikologis.
"Jiwa manusia adalah entitas yang jauh lebih luas dan kompleks daripada sekadar akal. Ia memiliki lapisan-lapisan bawah sadar yang menyimpan kebijaksanaan primordial, dorongan-dorongan kuat, dan pola-pola universal yang beroperasi secara otonom, seringkali di luar kendali langsung kehendak sadar," (Jung, 1968). Mengabaikan atau menekan bagian-bagian otonom ini sama dengan memotong akar dari pohon kehidupan batin kita.
"Penyangkalan fanatik" ini mencerminkan peringatan Jung terhadap bahaya mengabaikan dimensi bawah sadar, yang dapat mengarah pada ketidakseimbangan atau neurosis. "Ketika materi bawah sadar tidak diakui atau diintegrasikan ke dalam akal, ia tidak menghilang; sebaliknya, ia dapat bermanifestasi dalam bentuk gejala psikologis seperti kecemasan, depresi, fobia, atau perilaku kompulsif," (Jung, 1964). Keutuhan psikologis (wholeness) menuntut dialog dan integrasi antara akal dan ketidaksadaran. Mempertahankan "monoteisme akal" berarti hidup dalam separuh kebenaran, menolak sebagian besar diri kita yang otentik, dan pada akhirnya, menciptakan konflik batin yang tak berkesudahan.
Monoteisme akal, di mana akal diidolakan dan bagian-bagian otonom jiwa disangkal, adalah sebuah jebakan yang mengarah pada ketidakseimbangan psikologis dan neurosis. Keutuhan sejati hanya dapat dicapai melalui pengakuan dan integrasi antara akal dan bawah sadar. Maka, di tengah gemuruh peradaban yang memuja logika, ada sebuah bisikan dari kedalaman jiwa yang menuntut perhatian. Kebenaran sejati tentang diri kita tidak hanya bersemayam di permukaan akal, melainkan juga di samudra tak sadar yang luas, yang penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan otonom. Merangkul seluruh spektrum jiwa, dengan segala kontradiksi dan misterinya, adalah jalan menuju keutuhan yang otentik, sebuah tarian abadi antara cahaya dan bayangan, yang pada akhirnya membawa kita pada harmoni sejati dengan diri sendiri.
Daftar Pustaka:
• Jung, C. G. (1964). Man and His Symbols. Dell Publishing.
• Jung, C. G. (1968). The Archetypes and the Collective Unconscious (Vol. 9, Part 1 of The Collected Works of C. G. Jung). Princeton University Press.
• McGilchrist, I. (2009). The Master and His Emissary: The Divided Brain and the Making of the Western World. Yale University Press.
• Siegel, D. J. (2012). The Developing Mind: How Relationships and the Brain Interact to Shape Who We Are (2nd ed.). Guilford Press.
________________________________________
”MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header