Breaking News

KESEPAKATAN TARIF DAGANG DAN MARTABAT BANGSA

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 17 Juli 2025.
Di antara riuh rendah diplomasi dagang dan gemuruh mesin-mesin ekonomi global, ada sunyi yang tak terdengar: sunyi dari harga diri yang perlahan dikompromikan demi stabilitas. Indonesia, negeri yang pernah berdiri tegak dengan semangat kemandirian, kini menunduk dalam elegi dagang yang penuh paradoks. Ketika tanggal 15 Juli 2025, dua hari lalu, Amerika Serikat menerapkan tarif barang asal Indonesia menjadi 19%, dan negeri ini juga membuka gerbangnya lebar-lebar—dengan menghapus tarif menjadi 0% untuk produk pertanian dan barang konsumsi asal AS, dengan “arahan” agar Indonesia tidak menerapkan tarif balasan, Indonesia setuju. Seolah ada simfoni tak seimbang yang dimainkan dalam orkestra perdagangan bebas. “Hubungan dagang yang sehat bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari posisi tawar dan martabat nasional,” tulis Prasetyo (2023) dalam kajiannya tentang etika ekonomi global.

Langkah AS menurunkan tarif menjadi 19% bisa dibaca sebagai strategi dagang yang tetap protektif namun lebih moderat. Penurunan ini memberi ruang bagi produk Indonesia untuk tetap bersaing, namun tidak cukup untuk menyamakan posisi. Menurut analisis dari Lestari dan Nugroho (2024), “Tarif dagang adalah instrumen geopolitik yang menyiratkan siapa yang memimpin dan siapa yang mengikuti.” Dalam konteks ini, Indonesia masih berada dalam bayang-bayang dominasi ekonomi AS, meski secara nominal ekspor tetap tumbuh.

Di sisi lain, keputusan Indonesia untuk menghapus tarif bagi produk pertanian dan barang konsumsi asal AS menunjukkan pendekatan yang lebih lunak dan diplomatis. Pemerintah beralasan bahwa langkah ini bertujuan menjaga hubungan dagang yang stabil dan menghindari retaliasi. Namun, menurut kajian dari Wibowo (2025), “Liberalisasi sepihak dalam perdagangan dapat melemahkan daya saing domestik dan memperkuat ketergantungan struktural terhadap negara mitra.” Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa menjadi bumerang bagi sektor pertanian lokal yang belum sepenuhnya siap bersaing dengan produk impor.

Komitmen impor Indonesia dari AS juga menunjukkan arah baru dalam relasi ekonomi bilateral. Dengan nilai $15 miliar untuk energi, $4,5 miliar untuk produk pertanian, dan pembelian 50 unit pesawat Boeing, Indonesia tampak memperkuat ketergantungannya pada teknologi dan sumber daya eksternal. “Ketergantungan ekonomi terhadap negara maju sering kali mengaburkan visi pembangunan berkelanjutan,” tulis Harsono (2023) dalam jurnal Global Economic Interdependence. Meski investasi ini bisa mempercepat pembangunan infrastruktur dan energi, ia juga menyisakan pertanyaan tentang kedaulatan industri nasional.

Keseluruhan dinamika ini mencerminkan relasi dagang yang asimetris. AS tetap menjaga proteksi, sementara Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya. Dalam perspektif ekonomi politik, ini bukan sekadar transaksi, melainkan negosiasi identitas dan posisi global. “Perdagangan internasional bukan hanya soal barang, tapi juga tentang narasi siapa yang menentukan arah dunia,” ujar Suryadi (2024) dalam Journal of Political Economy and Sovereignty. Indonesia, dalam hal ini, tampak lebih sebagai pengikut daripada penentu.

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada refleksi yang lebih dalam: apakah relasi dagang ini mencerminkan kemajuan atau justru kemunduran dalam kemandirian ekonomi? Di tengah angka dan komitmen, ada jiwa bangsa yang harus dijaga. Ketika tarif menjadi simbol, dan ekspor-impor menjadi metafora, maka perdagangan bukan lagi sekadar urusan pasar, melainkan soal jati diri, harga diri, martabat. Seperti kata Mochtar Lubis dalam esainya yang klasik, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu kapan harus berkata tidak.” Mungkin saatnya kita bertanya: apakah kita masih tahu kapan?

Referensi:
• Prasetyo, A. (2023). Etika Ekonomi Global dan Kedaulatan Nasional. Jakarta: LP3ES.
• Lestari, D., & Nugroho, B. (2024). “Tarif Dagang sebagai Instrumen Geopolitik.” Jurnal Ekonomi Internasional, 12(1), 45–59.
• Wibowo, R. (2025). “Liberalisasi Sepihak dan Dampaknya terhadap Daya Saing Nasional.” Jurnal Kebijakan Ekonomi, 18(2), 77–91.
• Harsono, T. (2023). “Ketergantungan Ekonomi dan Visi Pembangunan.” Global Economic Interdependence, 9(3), 102–118.
• Suryadi, M. (2024). “Narasi Politik dalam Perdagangan Internasional.” Journal of Political Economy and Sovereignty, 7(1), 33–48.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID