Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 3 Juli 2025
Laksana fatamorgana di gurun pasir, konsep Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia seringkali terasa seperti ilusi yang menjanjikan oase integritas dan transparansi. Namun, bagi mata yang jeli, ia tak lebih dari “basa-basi”, sebuah retorika indah yang kehilangan makna di tengah realitas kelam. Ketika praktik “suap, gratifikasi, korupsi, manipulasi laporan keuangan, dan greenwashing dalam sustainability report” disinyalir terjadi di hampir semua korporasi di Indonesia, kita dihadapkan pada sebuah ironi pahit. Ini adalah drama tragedi antara harapan akan tata kelola yang bersih dan bayangan korupsi yang membayangi, di mana janji-janji mulia tergerus oleh godaan kekuasaan dan keuntungan.
Konsep GCG, yang berakar pada prinsip “transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran” (OECD, 2004), semestinya menjadi fondasi kokoh bagi setiap entitas bisnis. Tujuannya adalah menciptakan kepercayaan investor, melindungi pemangku kepentingan, dan memastikan keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang (Cadbury Committee, 1992). Di Indonesia, berbagai regulasi dan pedoman GCG telah diterbitkan, mulai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Namun, implementasinya di lapangan seringkali terbentur pada “gap antara aturan di atas kertas dan praktik di lapangan” (Mardiasmo, 2018).
Fenomena “suap, gratifikasi dan korupsi” dalam dunia korporasi di Indonesia bukan lagi rahasia umum. Praktik ini seringkali melibatkan “kolusi antara eksekutif perusahaan dan pejabat publik” untuk memuluskan perizinan, memenangkan proyek, atau menghindari sanksi hukum (Transparency International, 2023). Akibatnya, alih-alih bersaing secara sehat, perusahaan-perusahaan ini justru merusak integritas pasar dan menciptakan kerugian besar bagi negara dan masyarakat. Selain itu, “manipulasi laporan keuangan” juga menjadi modus operandi untuk menyembunyikan kerugian, memoles profit fiktif, atau menghindari kewajiban pajak. Praktik ini tidak hanya menipu investor, tetapi juga mengikis kepercayaan publik dan merusak kredibilitas pasar modal (Jensen & Meckling, 1976, Agency Theory).
Lebih jauh, dalam konteks keberlanjutan, praktik “greenwashing dalam sustainability report” telah menjadi sorotan tajam. Greenwashing adalah upaya perusahaan untuk menampilkan diri sebagai entitas yang bertanggung jawab lingkungan melalui klaim-klaim palsu atau menyesatkan (TerraChoice, 2007). Laporan keberlanjutan, yang seharusnya menjadi alat akuntabilitas, seringkali menjadi “alat pemasaran semata”, mengabaikan dampak negatif riil yang ditimbulkan oleh operasi bisnis. Misalnya, perusahaan tambang yang menggembar-gemborkan program reboisasi kecil, sementara inti operasinya masih menyebabkan deforestasi dan pencemaran air berskala besar (Contoh kasus yang sering dibahas oleh LSM lingkungan di Indonesia), dan produk dari kegiatan usahanya tetap merupakan sumber emisi karbon terbesar. Ini menciptakan “ilusi keberlanjutan” yang membahayakan planet dan menipu konsumen yang semakin sadar lingkungan.
Implikasi dari fenomena ini sangat serius. “Kepercayaan investor menurun”, “daya saing industri tergerus”, dan “masyarakat menderita” akibat dampak lingkungan dan sosial yang terabaikan. GCG yang hanya menjadi formalitas akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia (World Bank, 2002). Untuk mengatasi ini, dibutuhkan lebih dari sekadar regulasi; diperlukan “penegakan hukum yang tegas”, “budaya etika korporat yang kuat” dari level pucuk pimpinan hingga paling bawah, dan “partisipasi aktif pemangku kepentingan” yang berani menyuarakan kebenaran.
Pada akhirnya, citra GCG di Indonesia adalah “cermin retak” yang merefleksikan pertarungan abadi antara idealisme dan realitas. Ia adalah “gema kegagalan” yang menuntut kita untuk tidak hanya mengaudit angka, tetapi juga “mengaudit nurani”. Marilah kita, dengan “keberanian dan integritas”, menyingkap tabir basa-basi, menuntut akuntabilitas sejati, dan membangun fondasi korporasi yang tidak hanya meraih sukses finansial, tetapi juga “bertanggung jawab secara moral dan ekologis”. Hanya ketika GCG berhenti menjadi fatamorgana dan menjadi kenyataan, barulah kita dapat membangun ekonomi yang benar-benar “adil, transparan, dan berkelanjutan” bagi semua.
------SELESAI------
Referensi:
• Cadbury Committee. (1992). Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee and Co Ltd.
• Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.
• Mardiasmo. (2018). Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi.
• OECD. (2004). Principles of Corporate Governance. OECD Publishing.
• TerraChoice. (2007). The Six Sins of Greenwashing. TerraChoice Environmental Marketing.
• Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index 2023. (Data dan laporan umum tentang persepsi korupsi di berbagai negara, termasuk Indonesia).
• World Bank. (2002). Corporate Governance: A Framework for Implementation. The World Bank Group.
________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header