Breaking News

MENGAPA KEMARAHAN DAN KECEMASAN ITU MELELAHKAN?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 31 Oktober 2025

Ada wilayah sunyi di dalam diri, tempat energi kehidupan mengalir tenang seperti sungai di musim kemarau. Namun, saat badai emosi negatif datang, ketika kecemasan menajam seperti belati dingin, atau ketika kemarahan membara seperti lahar, wilayah damai itu seketika berubah menjadi medan perang yang menghabiskan sumber daya. Mengapa kita merasa begitu lelah setelah hari yang dipenuhi kekhawatiran, meskipun secara fisik kita hanya duduk diam? Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa pikiran yang bergumul adalah tubuh yang berlari maraton. Emosi negatif bukanlah sekadar perasaan, melainkan sebuah respons fisiologis dan kognitif yang memicu alarm internal, menguras cadangan energi kita seolah kita sedang dikejar ancaman nyata, padahal ancaman itu seringkali hanya ada dalam bayangan.

"Emosi negatif, terutama yang intens dan berkepanjangan seperti kecemasan kronis dan kemarahan, memicu respons stres fight-or-flight, yang memerlukan mobilisasi energi metabolisme yang besar" (Sapolsky, 2004). Ketika kita cemas atau marah, tubuh melepaskan kortisol dan adrenalin. Hormon-hormon ini secara instan meningkatkan detak jantung, tekanan darah, dan mengalihkan aliran darah dari sistem pencernaan ke otot-otot besar, mempersiapkan diri untuk bertarung atau melarikan diri. Mobilisasi fisik yang konstan ini, meskipun tidak diimbangi dengan tindakan fisik yang sebenarnya, menguras cadangan glukosa dan ATP (Adenosin Trifosfat: molekul pembawa energi universal) dari otot dan otak. Inilah sebabnya mengapa kita merasa 'terbakar dan terkuras habis' bahkan meskipun tidak banyak bergerak.

Selain aspek fisiologis, terdapat pula biaya kognitif yang mahal dari emosi negatif. "Regulasi emosi yang disfungsional, seperti menekan atau menahan emosi negatif secara konstan, membutuhkan usaha kognitif yang signifikan dan menguras kapasitas self-control atau ego depletion" (Baumeister et al., 1998). Ketika seseorang secara terus-menerus mencoba mengendalikan ledakan amarah di tempat kerja atau menekan rasa sedih yang mendalam, ia sedang menggunakan 'otot' pengendalian diri. Otot kognitif ini memiliki sumber daya yang terbatas. Usaha internal untuk memproses, memutar ulang, dan mencoba menafsirkan rumination (perenungan berulang tentang masalah) membebani korteks prefrontal, wilayah otak yang bertanggung jawab atas pemikiran tingkat tinggi dan pengambilan keputusan. Ini mengurangi sumber daya yang tersedia untuk tugas-tugas sehari-hari, menyebabkan kelelahan mental.

Lebih lanjut, emosi negatif kronis mengganggu kualitas tidur, sebuah proses vital untuk pemulihan energi. "Gangguan tidur sering menjadi konsekuensi atau pemicu dari kondisi kecemasan dan depresi, menciptakan lingkaran setan kelelahan" (Harvey, 2008). Kecemasan membuat pikiran tetap siaga (hiperarousal), mencegah otak memasuki fase tidur nyenyak (REM dan slow-wave sleep) yang krusial untuk perbaikan seluler dan konsolidasi memori. Ketika tidur terganggu, tubuh gagal mengisi ulang sumber daya energinya secara optimal, sehingga individu memulai hari berikutnya dengan defisit energi yang lebih besar, memperparah kerentanan terhadap emosi negatif. Dalam jangka panjang situasi ini dapat memicu gangguan psikosomatis; melemahkan, merusak organ tubuh.

Pada intinya, kelelahan yang ditimbulkan oleh emosi negatif adalah konsekuensi logis dari kondisi internal yang tidak harmonis. Tubuh dan pikiran beroperasi di bawah kondisi siaga darurat yang dipaksakan. Kelelahan ini adalah sinyal peringatan bahwa sistem sedang mengalami defisit energi yang signifikan, dikuras oleh stresor internal yang diciptakan atau diperkuat oleh pola pikir kita. Mengelola kelelahan emosional ini membutuhkan transisi dari mode pertarungan/melarikan diri ke mode istirahat/pemulihan. Oleh karenanyalah semua aliran spiritual-keagamaan dan pengembangan diri mengajarkan pemaafan, pengampunan, dan penerimaan, keberserahan, keikhlasan, letting go; demi memadamkan api yang menguras energi ini.

Saat kabut kecemasan mulai terangkat dan alarm amarah memadamkan dirinya, kita menemukan sebuah kebenaran yang sunyi: bahwa energi terbersih bukanlah yang didapatkan dari luar, melainkan yang diselamatkan dari dalam. Kelelahan yang terasa setelah badai emosi adalah monumen bisu bagi pertempuran yang kita lawan di medan perang pikiran. Kunci untuk mendapatkan kembali vitalitas bukanlah dengan mencari energi baru, melainkan dengan menolak narasi yang mengurasnya. Refleksi ini mengajarkan bahwa menjadi tenang bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah strategi bertahan hidup; sebuah penolakan untuk membiarkan api internal membakar habis hutan kehidupan kita, sehingga kita dapat mengalokasikan energi untuk kreasi dan koneksi, bukan untuk konflik dan konsumsi internal yang sia-sia.

Referensi:
• Baumeister, R. F., Bratslavsky, E., Muraven, M., & Tice, D. M. (1998). Ego depletion: Is the active self a limited resource? Journal of Personality and Social Psychology, 74(5), 1252–1265.
• Harvey, A. G. (2008). Insomnia, trauma, and the resting state. Journal of Traumatic Stress, 21(4), 361–369.
• Sapolsky, R. M. (2004). Why Zebras Don't Get Ulcers. Henry Holt and Company.
________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI).

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID