Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 23 Oktober 2025
Jiwa adalah labirin, dan spiritualitas adalah peta yang tidak pernah selesai digambar. Ia bukanlah puncak yang ditaklukkan dalam satu kali pendakian heroik, bukan pula tumpukan buku yang selesai dibaca dalam keheningan perpustakaan. Bukan harta karun pengetahuan yang dipamerkan, melainkan sebuah denyutan ritmis, perjalanan tak berujung, suatu 'laku' yang mengalir bagai sungai purba, membelah lembah kesadaran dan kegelapan batin. Ia adalah jejak sunyi yang diukir di kedalaman diri, sebelum akhirnya memantul menjadi riak getaran di permukaan semesta. Jeda hening yang menengahi tarikan dan hembusan napas; di sanalah, spiritualitas bersemayam, menanti untuk dilakoni.
Ide pokok bahwa spiritualitas adalah perjalanan atau laku yang berkesinambungan dan bukan sekadar capaian atau pengetahuan yang statis telah menjadi penekanan penting dalam kajian kontemporer. "Spiritualitas dipandang sebagai suatu proses aktif dan dinamis dalam mencari makna hidup, koneksi dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, dan pertumbuhan pribadi yang mendalam," sebuah esensi yang menolak pandangan spiritualitas sebagai pencapaian akhir yang beku (Rosito, 2010). Proses laku ini melibatkan interaksi yang terus-menerus antara dunia internal dan manifestasi eksternal.
Laku spiritual senantiasa hadir dalam dualitas yang tak terpisahkan: laku luar dan laku dalam. "Laku luar yang dimaknai oleh laku dalam" merujuk pada praktik nyata, perilaku, dan interaksi sosial yang dilakukan seseorang, yang hanya akan memiliki signifikansi spiritual jika didasari oleh kedalaman batin. Studi menunjukkan bahwa peran spiritual (batiniah) memiliki korelasi positif dengan perilaku sosial seseorang, menegaskan bahwa kesadaran ruhani yang mendalam adalah fondasi untuk tindakan yang membawa manfaat universal (Darmawan & Wardhaningsih, 2019). Tanpa akar batin yang kuat, amal dan kebaikan di luar diri hanya menjadi ritual tanpa jiwa, formalitas tanpa esensi transendensi.
Sebaliknya, "laku dalam yang tercermin ke dalam laku luar" menegaskan bahwa pertumbuhan spiritualitas yang autentik di ruang hening haruslah mewujud dalam realitas sehari-hari. Spiritualitas yang matang tidak hanya tertahan di dalam meditasi atau perenungan, melainkan mengantarkan individu untuk mampu menempatkan diri pada tempat yang sesuai, melakukan apa yang seharusnya, dan menemukan kebermaknaan hidup dalam aksi nyata (Adami, 2006). Jika seseorang mencapai kedamaian batin (laku dalam), maka secara alami, hal itu akan terpancar menjadi sikap altruis, kasih sayang, dan integritas dalam bermasyarakat (laku luar), sebuah hubungan timbal balik yang menjadi ciri kematangan spiritual (Piedmont, 2001). Spiritualitas sejati tak pernah egois; ia selalu bermuara pada pengabdian dan keharmonisan dengan semesta. Segala benda dan segala peristiwa, dari yang penting dan besar sampai yang terkecil, tersederhana dan remeh, menjadi bermakna semua, menjadi serba ditakzimi. Setiap jiwa diziarahi. Setiap peristiwa bermakna, sebab peristiwa adalah interaksi antar benda. Baginya, setiap benda berjiwa, baik benda hidup maupun benda mati.
Sebagai konklusi, spiritualitas adalah seni mengintegrasikan dua kutub realitas: kedalaman batin dan keluasan tindakan. Ia melampaui dogma dan formalitas, berakar pada pengalaman personal yang berkelanjutan dan termanifestasi sebagai cinta-kasih dan etika hidup yang luhur. Konsep ini adalah penolakan terhadap pemahaman bahwa spiritualitas bisa dibeli, didapat, atau diwariskan; ia adalah sebuah proses pendewasaan jiwa yang menuntut ketekunan dalam 'laku'; sebuah dialektika abadi antara yang sunyi dan yang riuh, antara refleksi dan aksi (Lari, 2019). Ia adalah panggilan untuk menjadi, bukan untuk memiliki.
Inilah simfoni abadi antara ruh dan raga, antara niat dan perbuatan. Saat kesadaran batinmu (laku dalam) menjadi sumur yang tak pernah kering, maka setiap tetes air yang kau tawarkan kepada dunia (laku luar) akan menjadi mata air penyembuhan bagi yang haus. Biarkan perjalanan ini menjadi ziarah ke dalam jantung, di mana setiap langkah bukan mendekati garis finish, melainkan meneguhkan bahwa finish itu adalah ilusi. Yang abadi hanyalah tarikan dan hembusan napas yang dimaknai, laku yang tak henti di tengah badai dan teduh. Spiritualitas adalah keberanian untuk hidup sepenuhnya, di luar cengkeraman capaian, di dalam pusaran laku, membiarkan cahayanya menyinari lorong gelap yang paling rahasia di dalam diri.
------SELESAI------
Referensi:
• Adami, C. (2006). Spiritualitas yang matang. Disitasi dalam Aman, M. R. (2013). Manajemen Spiritual. Yogyakarta: Andi.
• Darmawan, A. I., & Wardhaningsih, S. (2019). Peran spiritual berhubungan dengan perilaku sosial dan seksual remaja. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(1), 75-80.
• Lari, S. M. (2019). Jalaluddin: Psikologi Agama. Disitasi dalam Lestari, D. (2020). Nilai spiritualitas puisi perjalanan menuju-mu karya Isbedy Stiawan ZS. Jurnal Sastra, 1(2), 20-30.
• Piedmont, R. L. (2001). Spiritual transcendence and the scientific search for the structure of personality. Journal of Research in Personality, 35(2), 163-177.
• Rosito, R. (2010). Spiritualitas: Makna dan fungsi. Jurnal Pendidikan Islam, 1(1), 34-40.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header