Breaking News

BAHASA UNIVERSAL YANG MAMPU MENGUBAH RASA “AKU” MENJADI “KITA”


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 7 September 2025.
Di alam semesta ini, secara harfiah dan hakiki terdapat bahasa yang melampaui batas-batas suara dan ejaan kata, sebuah aksara yang terukir bukan di atas kertas, melainkan di relung sanubari yang paling dalam. Bahasa yang dipahami dan digunakan oleh semua mahluk hidup; lintas ras, lintas spesies, lintas genus, lintas kingdom. Ia adalah bahasa universal yang menggerakkan, menumbuhkan dan memelihara semesta, menjalin benang-benang tak kasat mata antara semua yang hidup dan berjiwa. Ia adalah bahasa yang digunakan antara kepala putik dan serbuk sari bunga. Ia adalah bahasa yang dipakai oleh induk ayam dan anak-anaknya, bahasa yang digunakan oleh lebah saat mempersembahkan madu kepada koloninya dan sang ratu. Sama seperti seorang ibu yang memahami setiap isyarat bisu dari bayinya yang tak berdaya, atau sepasang kekasih yang bertukar jutaan makna dalam tatapan mata yang penuh getar, bahasa ini tak memerlukan dialek, tata bahasa, ataupun kamus. Ia adalah resonansi murni dari hati, sebuah frekuensi yang hanya bisa ditangkap oleh jiwa yang membuka diri pada getaran kasih. Ia adalah hahasa cinta.

Pada spesies homo sapiens, "Konsep cinta yang universal melampaui perbedaan budaya dan bahasa, menjadi fondasi interaksi sosial manusia di seluruh dunia" (Fromm, 1956/2002). Dalam tataran ilmiah, cinta sering dikaji sebagai fenomena multidimensi. Cinta keibuan, misalnya, adalah manifestasi cinta yang paling mendasar dan esensial. Naluri seorang ibu untuk merawat dan melindungi anaknya didorong oleh ikatan emosional dan neurologis yang kuat. Kepekaan ini bukanlah hasil dari komunikasi verbal, melainkan sebuah pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan dan kondisi bayinya yang tak terucap, (Hojat, 2017), tanpa melalui proses penalaran logis yang kompleks.

"Empati, sebagai kemampuan untuk merasakan dan memahami apa yang dirasakan orang lain, adalah elemen kunci dari cinta universal" (Batson, 2011). Empati inilah yang menjadi jembatan antara kita dan orang lain, memungkinkan kita untuk merasakan penderitaan mereka seolah-olah itu milik kita sendiri. Secara neurologis, empati mengaktifkan area otak yang sama dengan saat kita mengalami emosi tersebut secara langsung. Ketika kita melihat orang lain dalam kesulitan, otak kita meresponsnya, memicu dorongan untuk membantu, sebuah mekanisme naluriah yang telah lama dibahas dalam studi tentang altruisme dan perilaku prososial (Hogan, 2018). Dorongan ini tidak memandang status sosial, latar belakang ekonomi, atau ras. Ia hadir sebagai respons spontan, sebuah "bahasa" yang berbicara tanpa kata-kata, mendorong kita untuk mengulurkan tangan. Empati adalah bisikan lembut firman kasih Sang Pencipta ke dalam hati setiap manusia untuk menjaga dan merawat keberlangsungan kehidupan bersama-sama.

"Perilaku prososial, yang dimediasi oleh empati, merupakan wujud konkret dari bahasa cinta yang universal" (Widyastuti, 2022). Di tengah gejolak dunia yang penuh dengan gesekan dan perpecahan, bahasa cinta ini berfungsi sebagai perekat yang tak terlihat. Ia muncul dalam tindakan-tindakan kecil, seperti senyuman dan anggukan tulus kepada orang asing, uluran tangan kepada yang jatuh, atau hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Tindakan-tindakan sederhana ini bukan sekadar kebaikan sesaat, melainkan manifestasi dari pemahaman bahwa kita semua terhubung, bahwa penderitaan satu orang adalah penderitaan kita semua. Jurnal-jurnal pengabdian masyarakat seringkali menyoroti bagaimana kegiatan-kegiatan berbasis komunitas yang dilandasi empati dapat menciptakan ikatan sosial yang kuat, bahkan di tengah masyarakat yang beragam (Habibah & Wijayanti, 2025).

Cinta bukanlah konsep yang abstrak atau romantis semata. Ia adalah sebuah kekuatan nyata, sebuah bahasa yang mengalirkan pemahaman dan empati dari satu jiwa ke jiwa lain. Cinta adalah motor penggerak di balik setiap tindakan altruistik, di balik setiap hasrat untuk mengurangi penderitaan orang lain. Ia mengubah rasa "aku" menjadi "kita," memecah dinding-dinding ego dan membangun jembatan-jembatan kasih sayang. Cinta tidak berbicara, tetapi ia berkomunikasi; cinta tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata.

Maka, ijinkan bahasa ini terus berbisik dalam sanubari, menuntun setiap langkah dan keputusan. Biarkan ia menjadi kompas moral kita, pengingat bahwa di balik segala perbedaan, kita semua memiliki satu bahasa yang sama: bahasa cinta. Ia adalah simfoni jiwa yang merdu, sebuah puisi yang tak pernah usai. Biarkan ia menggema, mengisi setiap kekurangan, membasuh setiap luka, dan akhirnya menyatukan kembali kepingan-kepingan kemanusiaan yang tercerai-berai, menjadikannya sebuah mosaik utuh yang indah. Karena sesungguhnya, dalam setiap ungkapan cinta, setiap sentuhan empati, dalam setiap uluran tangan, kita bukan hanya melihat orang lain, tetapi kita melihat diri kita sendiri. Dan kehidupan ini bukanlah tentang “aku” saja, tapi tentang “kita” semua sebagai anggota dan peserta alam semesta.

Referensi:
• Batson, D. C. (2011). Altruism in humans. Oxford University Press.
• Fromm, E. (1956/2002). The art of loving. Harper & Row.
• Habibah, C. L., & Wijayanti, W. (2025). The role of interactive education in improving emotional relationships between children and parents at Bakti Sawahan Kindergarten. Jurnal Empathy Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 1-10.
• Hogan, P. C. (2018). Sexual identities: A cognitive literary study. Oxford University Press.
• Hojat, M. (2017). Empathy in health professions education and patient care. Springer International Publishing.
• Widyastuti, A. (2022). Empathy as mediator in relationship between self-compassion and prosocial behavior among adolescents. Jurnal Psikologi, 49(3), 365-376.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID