Breaking News

YANG DIBUTUHKAN BUKAN ATRAKSI STATISTIK MAUPUN KONTES LAPORAN KEBERLANJUTAN, TAPI RASA CUKUP


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 2 September 2025.
Di balik angka-angka yang dielu-elukan sebagai kemajuan, tersimpan luka yang tak terlihat oleh grafik. GDP naik, tapi hutan merintih. Konsumsi meningkat, tapi sungai menghitam. Pertumbuhan ekonomi menjadi mantra yang menutupi jeritan tanah, air, dan udara yang terkontaminasi. “Pertumbuhan ekonomi modern sering kali mengabaikan dimensi ekologis dan spiritual kehidupan manusia” (Korten, 2006). Manusia, dalam balutan kemewahan dan kenyamanan, perlahan kekurangan gerak tubuhnya, kehilangan rasa cukup, dan terlepas hubungan sakralnya dengan bumi yang melahirkan, menumbuhkan, dan membesarkannya.

GDP bukanlah cermin kesejahteraan, melainkan refleksi dari eksploitasi. Ketika hutan dibabat demi ekspansi industri, ketika tanah diracuni demi panen instan, ketika udara dikotori demi mobilitas yang tak pernah berhenti, maka angka-angka itu berdiri di atas penderitaan yang tak terhitung. “Indikator ekonomi konvensional gagal menangkap kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial yang ditimbulkannya” (Stiglitz, Sen, & Fitoussi, 2009). Kita menyebutnya kemajuan, padahal itu adalah peluruhan nilai-nilai kehidupan, yang pada akhirnya menciptakan penderitaan terhadap manusia sekarang dan anak-cucunya.

Konsumsi menjadi ritual baru. Manusia makan bukan karena lapar, berpakaian bukan karena butuh, memiliki bukan karena kekurangan. “Budaya konsumtif telah menjadikan kepemilikan sebagai simbol identitas dan status, bukan sebagai alat pemenuhan kebutuhan” (Baudrillard, 1998). Sepatu lebih dari empat pasang, rumah lebih dari satu, kendaraan lebih dari satu—semua menjadi lambang keberhasilan, meski tubuh semakin pasif dan jiwa semakin kosong. Nafsu menjadi mesin yang menggerakkan ekonomi, dan alam menjadi korban yang tak pernah dimintai izin.

Makanan dan minuman, pakaian, kendaraan, bangunan, perhiasan, perabotan, peralatan; mulai dari yang dikonsumsi, yang melekat di badan, yang ada di rumah, di tempat kerja, di jalanan, semua dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di alam. Semua itu tersedia karena ada perusahaan yang menggali bumi dan menghilangkan bukit, merambah dan membabat hutan, mengeluarkan kontaminan, membuang asap ke udara, membuang limbah. Di level konsumsi, manusia juga memproduksi asap, limbah dan sampah yang tidak semua bisa diurai dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Gaya hidup, status, kebanggaan membuat manusia mengkonsumsi dan memiliki lebih dari yang  dibutuhkan, dan tidak pernah merasa cukup. Kenyamanan, kemudahan, kebanggaan, kenikmatan, kepuasan— yang merupakan gelegak nafsu manusia, disediakan media dan fasilitas fisiknya dengan mengorbankan alam. Kerusakan alam adalah cerminan dari kerusakan batin manusia. “Krisis ekologis adalah manifestasi dari krisis spiritual dan psikologis manusia modern” (Berry, 1999). Ketika manusia kehilangan rasa cukup, ia mulai menggali di luar dirinya, menciptakan sistem yang mengukur nilai hidup dari benda, bukan dari makna. Alam tidak rusak karena teknologi, tetapi karena nafsu keserakahan yang tak pernah puas. Kita tidak hanya menghancurkan bumi, tetapi juga menghancurkan diri kita sendiri.

Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi, produktifitas, yang tidak disertai kesadaran ekologis dan spiritual adalah jalan menuju kehancuran. “Pembangunan yang berkelanjutan harus berakar pada keseimbangan antara kebutuhan manusia dan batas-batas ekologis” (Raworth, 2017). Kita perlu mendefinisikan ulang kemajuan, bukan sebagai akumulasi benda, tetapi sebagai kedalaman makna dan keharmonisan dengan alam.

Dan di sinilah kita berdiri, di ambang antara angka capaian peradaban dan ruh bumi. Kita bisa memilih untuk terus menghitung, atau mulai mendengarkan. Sebab bumi tidak bicara dalam bahasa GDP, ia bicara dalam bahasa angin, air, dan kesunyian. Jika kita ingin bertahan, kita harus meluruhkan nafsu, dan menemukan kembali rasa cukup yang telah lama hilang. Sebab kebijaksanaan bukanlah milik mereka yang memiliki banyak, tetapi milik mereka yang tahu kapan harus berhenti.

Referensi:
• Korten, D. C. (2006). The Great Turning: From Empire to Earth Community. Berrett-Koehler Publishers.
• Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J. P. (2009). Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. OECD.
• Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. Sage Publications.
• Berry, T. (1999). The Great Work: Our Way into the Future. Bell Tower.
• Raworth, K. (2017). Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Chelsea Green Publishing.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID