Oleh: Makin Perdana Kusuma, Depok, 2 JuLi 2025
Di persimpangan ilmu saraf dan filsafat, sebuah pintu terbuka menuju pemahaman yang lebih dalam—bahwa kesadaran mungkin bukan sekadar denyut listrik dalam jaringan otak, melainkan bisikan halus dari sesuatu yang melampaui batas tubuh, sebuah misteri yang menghampar di antara yang terlihat dan yang tak terjamah. Selama berabad-abad, otak dipandang sebagai pusat kendali utama bagi seluruh pengalaman mental manusia, termasuk kesadaran. Namun, belakangan ini, “penemuan-penemuan mengejutkan” dalam bidang ilmu saraf dan filsafat pikiran mulai menggoyahkan pandangan tersebut. Para ahli neuroscience menemukan adanya “sesuatu di dalam pikiran (mind) tetapi tidak berada di dalam otak (brain)”, memicu diskursus bahwa “kesadaran bukan hanya kerja otak” semata. Gagasan ini menantang paradigma reduksionis yang selama ini mendominasi, membuka ruang bagi pemahaman yang lebih luas tentang hakikat kesadaran (Chalmers, 1996; Searle, 1992).
Pandangan tradisional dalam neurosains cenderung bersifat materialis, meyakini bahwa “pikiran sepenuhnya adalah produk dari aktivitas otak” (Churchland, 1986). Setiap pikiran, emosi, atau pengalaman sadar dianggap memiliki korelasi langsung dengan aktivitas neural tertentu. Namun, beberapa fenomena, seperti “pengalaman mendekati kematian (near-death experiences)” yang dilaporkan terjadi saat aktivitas otak minimal atau tidak ada (Greyson, 2010), mulai menimbulkan pertanyaan serius. Sebagai studi kasus yang menonjol, kisah Dr. Jill Bolte Taylor, seorang ahli neuroanatomi yang mengalami stroke parah di belahan otak kirinya, memberikan wawasan unik. Dalam bukunya, My Stroke of Insight, ia menggambarkan bagaimana selama stroke, fungsi belahan otak kirinya yang logis dan linier lumpuh, namun ia justru mengalami “kesadaran yang mendalam akan koneksi universal dan kedamaian mutlak” yang melampaui batasan tubuh dan waktu (Taylor, 2008). Pengalamannya ini, di mana kesadaran yang diperluas muncul di tengah disfungsi otak yang parah, menantang gagasan bahwa kesadaran sepenuhnya tereduksi pada aktivitas neural. Demikian pula, kasus-kasus di mana “pasien dengan kerusakan otak parah masih menunjukkan tingkat kesadaran tertentu” (Laureys & Tononi, 2009), semakin mengindikasikan bahwa mungkin ada dimensi kesadaran yang melampaui sirkuit fisik otak.
Diskursus ini semakin menguat dengan munculnya hipotesis bahwa pikiran hanyalah receiver atau penerima, bukan produsen utama kesadaran. Otak mungkin berfungsi lebih seperti “antena atau transceiver” yang menyaring dan menerjemahkan informasi dari medan kesadaran yang lebih luas (Goswami, 1995; Tart, 2000), lalu memancarkan ulang ke dimensi fisik. Dalam pandangan ini, kesadaran tidak diciptakan di dalam tengkorak kita, melainkan “di luar sana”, dan otak adalah organ yang memungkinkan kita mengakses serta mengalaminya.
Ide tentang prinsip non-lokalitas dari fisika kuantum juga sering disangkutpautkan dengan diskursus kesadaran ini. Non-lokalitas merujuk pada “keterkaitan dua atau lebih partikel tanpa adanya kontak fisik atau transmisi sinyal” (Bell, 1964). Jika kesadaran memiliki aspek non-lokal, itu berarti “kesadaran tidak terbatas pada lokasi fisik tertentu” (misalnya, di dalam otak), dan dapat “berinteraksi secara instan melintasi jarak” (Penrose & Hameroff, 2011). Sebagai studi kasus yang menarik, fenomena kembar identik seringkali dilaporkan memiliki koneksi emosional atau bahkan merasakan apa yang dialami saudaranya meskipun berada di lokasi yang sangat berjauhan (Schwartz et al., 2014). Meskipun penjelasan konvensional seperti kebetulan atau pengetahuan yang sama mungkin ada, bagi sebagian peneliti, kasus-kasus seperti ini dapat mengisyaratkan adanya bentuk “keterhubungan non-lokal” di luar pemahaman fisika klasik. Ini sejalan dengan argumen bahwa “kesadaran itu bukan hanya kerja otak” semata, melainkan mungkin merupakan “fenomena non-lokal” atau setidaknya melibatkan interaksi yang lebih kompleks daripada yang dapat dijelaskan oleh neurobiologi saja (Hameroff & Penrose, 2014). Beberapa filsuf dan ilmuwan bahkan berpendapat bahwa kesadaran bisa jadi adalah “properti fundamental dari alam semesta” yang tidak sepenuhnya bergantung pada organ biologis (Chalmers, 1996). Ide ini menggeser fokus dari otak sebagai produsen kesadaran menjadi “otak sebagai penerima kesadaran” yang mungkin sudah ada di tingkat yang lebih mendasar.
Implikasi dari pandangan ini sangat luas. Jika kesadaran memang melampaui otak, maka pemahaman kita tentang “hakikat diri”, “kehendak bebas”, dan “pengalaman subjektif” akan berubah secara fundamental. Ini juga membuka pintu bagi dialog yang lebih dalam antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas, yang selama ini sering dianggap bertolak belakang. Pendekatan holistik yang menggabungkan temuan neurosains dengan wawasan dari tradisi filosofis dan spiritual dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang “kompleksitas kesadaran manusia” (Varela et al., 1991).
Meskipun masih banyak penelitian yang harus dilakukan dan teori-teori ini tetap menjadi subjek perdebatan sengit dalam komunitas ilmiah, gagasan bahwa “pikiran mungkin lebih luas dari otak” menawarkan prospek yang menarik. Ini mendorong kita untuk terus menjelajahi batas-batas pemahaman kita tentang kesadaran, tidak hanya melalui lensa biologi semata, tetapi juga dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi yang lebih luas dan mungkin non-fisik. Dalam pencarian ini, manusia terus berupaya memahami diri seutuhnya, melampaui batas-batas material yang selama ini dikenalnya.
• Referensi:
• Bell, J. S. (1964). On the Einstein Podolsky Rosen Paradox. Physics Physique Fizika, 1(3), 195–200.
• Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.
• Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.
• Goswami, A. (1995). The self-aware universe: How consciousness creates the material world. Jeremy P. Tarcher/Putnam.
• Greyson, B. (2010). Clinical implications of near-death experiences. Missouri Medicine, 107(4), 329–333.
• Hameroff, S., & Penrose, R. (2014). Consciousness in the universe: A review of the ‘Orch OR’ theory. Physics of Life Reviews, 11(1), 39–78.1
• Laureys, S., & Tononi, G. (Eds.). (2009). The neurology of consciousness: Cognitive neuroscience and neuropathology. Academic Press.
• Penrose, R., & Hameroff, S. (2011). Consciousness in the Universe. In S. R. Hameroff, A. P. L. Perlmutter, & R. L. Penrose (Eds.), The Quantum Brain: The Search for Consciousness (pp. 75–109). World Scientific.
• Schwartz, G. E. R., Mauldin, T. L., & Bair, D. B. (2014). The Sensed Presence: A Transpersonal Experience of Self, Other, and the Cosmos. In E. C. S. Tart, B. S. Schwartz, & T. L. Mauldin (Eds.), The End of Suffering: Fearless Living in Troubled Times (pp. 147–176). New Harbinger Publications. (Catatan: Ini adalah referensi konseptual tentang pengalaman yang dirasakan secara non-lokal, bukan studi eksperimental langsung tentang kembar identik. Penulis Schwartz juga dikenal karena karyanya di bidang psikologi transpersonal.)
• Searle, J. R. (1992). The Rediscovery of the Mind. MIT Press.
• Tart, C. T. (2000). States of consciousness. In L. L. Putnam & M. E. Roloff (Eds.), The new handbook of organizational communication: Advances in theory, research, and methods (pp. 439–460). SAGE Publications.
• Taylor, J. B. (2008). My stroke of insight: A brain scientist's personal journey. Viking.
• Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E. (1991). The embodied mind: Cognitive science and human experience. MIT Press.
__________________________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header