Breaking News

TITIK-TITIK API GEOPOLITIK DI TENGAH MUSIM BADAI DISINFORMASI


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 14 September 2025.
Api perang dagang belum juga padam, dan belum pulih benar Jakarta terbakar oleh amarah rakyat yang menuntut pengelolaan negara yang bersih, keadilan ekonomi dan politik, Nepal pun terhuyung dalam gelombang protes generasi muda yang menumbangkan pemerintahan, Perancis ricuh oleh gelombang Block Everything yang memblokir jalan dan membakar barikade. Di Asia Timur, Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba memilih mundur di tengah badai politik, sementara di Thailand, Paetongtarn Shinawatra dipecat oleh Mahkamah Konstitusi. Di seberang Pasifik, peluru menembus leher Charlie Kirk, loyalis Donald Trump, di tengah pidatonya—sebuah denting tragis yang menambah daftar luka dunia. Kekacauan adalah simtom dari tatanan yang kehilangan legitimasi (Diamond, 2019). Kerusuhan adalah cermin retak dari kontradiksi sosial yang tak terselesaikan (Gurr, 2016).

Jakarta menjadi panggung benturan antara aspirasi rakyat dan kekuasaan. Ketidakpuasan publik yang terakumulasi dapat memicu mobilisasi massa yang cepat dan destruktif (Tarrow, 2011). Protes yang dipicu isu tunjangan DPR dan kebijakan ekonomi berubah menjadi kerusuhan yang merusak fasilitas publik, menelan korban jiwa, dan meninggalkan kerugian miliaran rupiah. Ketidakadilan yang dirasakan mempercepat eskalasi konfrontasi (Della Porta & Diani, 2020).

Nepal, negeri di atap dunia, menyaksikan generasi Z mengguncang fondasi negara. Gerakan sosial generasi muda sering kali menjadi katalis perubahan rezim (Inglehart & Welzel, 2005). Pemblokiran media sosial menjadi pemicu, namun kemarahan sesungguhnya lahir dari korupsi, ketimpangan, dan gaya hidup mewah elite politik. Parlemen dibakar, pejabat diserang, dan pemerintahan tumbang. Kapital simbolik elite runtuh ketika jurang legitimasi melebar (Gurr, 2016).

Di Perancis, protes Bloquons Tout menyatukan spektrum politik dari kiri hingga kanan. Mobilisasi lintas ideologi dapat memperbesar skala dan intensitas protes (Della Porta & Diani, 2020). Rencana pemotongan anggaran dan kenaikan pajak memicu kemarahan ratusan ribu warga, memaksa negara mengerahkan puluhan ribu aparat. Ketika tekanan fiskal bertemu ketidakpercayaan, jalanan menjadi arena politik (Held & McGrew, 2007).

Jepang menghadapi transisi kepemimpinan setelah Ishiba mundur. Krisis legitimasi sering memaksa pemimpin untuk mengundurkan diri demi menjaga stabilitas politik (Diamond, 2019). Kekalahan beruntun dalam pemilu dan tekanan internal LDP membuatnya menyerahkan tongkat estafet di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik. Kepemimpinan rapuh ketika mandat publik menipis (Tarrow, 2011).

Thailand pun tak luput dari badai. Intervensi yudisial dalam politik dapat mengubah arah kekuasaan secara drastis (Dressel, 2010). Paetongtarn Shinawatra dipecat karena pelanggaran etik, membuka jalan bagi Anutin Charnvirakul mengambil alih kursi perdana menteri dengan janji pemilu baru. Judisialiasi politik menciptakan stabilitas jangka pendek, namun sering menabur instabilitas jangka panjang (Dressel, 2010).

Di Amerika Serikat, penembakan Charlie Kirk mengguncang lanskap politik. Kekerasan politik terhadap figur publik dapat memperdalam polarisasi dan mengikis kepercayaan demokratis (Wilkinson, 2021). Kirk, pendiri Turning Point USA, tewas di tengah kampanye, memicu duka dan kemarahan di kalangan konservatif. Normalisasi kekerasan mempercepat erosi norma demokrasi (Diamond, 2019).

Dalam horizon yang lebih luas, ketimpangan ekonomi, disinformasi digital, dan krisis kepercayaan pada institusi berkelindan membentuk resonansi global kerusuhan (Piketty, 2020). Pola ini diperkuat oleh jaringan digital yang mempercepat difusi emosi kolektif dan koordinasi spontan (Tufekci, 2017; Castells, 2012). Media sosial berperan ganda: di satu sisi menjadi alat mobilisasi cepat, memperluas jangkauan pesan protes, dan membangun solidaritas lintas batas; di sisi lain, ia juga menjadi saluran penyebaran hoaks, framing ekstrem, dan polarisasi yang memperkeruh situasi. Platform digital dapat memperkuat keterhubungan sekaligus memperdalam fragmentasi sosial (Sunstein, 2018). Di banyak negara, institusi gagal beradaptasi, sehingga akses representasi politik menyempit, sementara tuntutan warga melebar (Acemoglu & Robinson, 2019). Ketika saluran deliberatif buntu, energi sosial mencari keluarnya di jalanan, kadang melalui api (Della Porta & Diani, 2020).

Konklusinya, rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa dunia tengah berada dalam fase turbulensi multi-lokasi. Globalisasi dan digitalisasi membuat krisis politik di satu negara dapat memengaruhi persepsi dan stabilitas di negara lain dengan cepat (Held & McGrew, 2007). Dari Asia hingga Eropa dan Amerika, benang merahnya adalah krisis kepercayaan terhadap institusi dan elite. Pemulihan menuntut reformasi yang menyeimbangkan respons cepat dengan legitimasi jangka panjang (Diamond, 2019).

Dan pada akhirnya, kita diingatkan bahwa sejarah bergerak bukan hanya oleh tangan para pemimpin, tetapi juga oleh gelombang rakyat yang menuntut perubahan; kadang dengan suara, kadang dengan api, kadang dengan darah. Pencerahan atau kehancuran, keduanya lahir dari momen-momen seperti ini. Di tengah riuh dan ricuh, mungkin yang paling sulit adalah menjaga hati tetap jernih, agar dari reruntuhan, kita membangun bukan hanya kota, tetapi juga nurani. Keberadaban diuji bukan saat terang dan tenang, melainkan saat badai yang paling gelap dan mencekam datang (Held & McGrew, 2007).


Referensi:
• Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2019). The narrow corridor: States, societies, and the fate of liberty. Penguin Press.
• Castells, M. (2012). Networks of outrage and hope: Social movements in the Internet age. Polity Press.
• Della Porta, D., & Diani, M. (2020). Social movements: An introduction (3rd ed.). Wiley-Blackwell.
• Diamond, L. (2019). Ill winds: Saving democracy from Russian rage, Chinese ambition, and American complacency. Penguin Press.
• Dressel, B. (2010). Judicialization of politics: The case of Thailand. Pacific Review, 23(5), 671–691.
• Gurr, T. R. (2016). Why men rebel (40th anniversary ed.). Routledge.
• Held, D., & McGrew, A. (2007). Globalization theory: Approaches and controversies. Polity Press.
• Inglehart, R., & Welzel, C. (2005). Modernization, cultural change, and democracy. Cambridge University Press.
• Piketty, T. (2020). Capital and ideology. Harvard University Press.
• Sunstein, C. R. (2018). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
• Tarrow, S. (2011). Power in movement: Social movements and contentious politics (3rd ed.). Cambridge University Press.
• Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.
• Wilkinson, S. I. (2021). The politics of violence: A comparative analysis. Oxford University Press.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID