Breaking News

MENAKAR HARAPAN KEPADA SEORANG MENTERI KEUANGAN

Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 17 September 2025.
Purbaya Yudhi Sadewa dilantik sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) RI pada tanggal 5 September 2025. Di dalam pusaran janji politik dan badai kepentingan, di tengah kelelahan dan kemualan sosial-ekonomi-politik rakyat yang menjadikan harapan rakyat  padanya menjulang-menggunung, seorang Menteri Keuangan ini berdiri seperti nahkoda di kapal yang tak sepenuhnya ia kendalikan. Tidak semua kewenangan pembangunan ekonomi berada di tangan Menteri Keuangan. Ia hanya memegang otoritas fiskal, sementara otoritas moneter berada di bawah kewenangan Bank Indonesia dan OJK. Di sisi lain, kebijakan sektoral berada pada masing-masing kementerian teknis. Selain itu, peran DPR sebagai lembaga legislatif tidak bisa diabaikan begitu saja, karena turut menentukan arah dan persetujuan kebijakan ekonomi nasionalIa memegang peta fiskal, kompas anggaran, dan tali pengikat neraca, namun arah angin ditentukan oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Ia bukan penyihir yang bisa mengubah defisit menjadi surplus dengan mantra, melainkan teknokrat yang harus menari di atas tali tipis antara idealisme ekonomi dan realitas politik. “Kebijakan fiskal tidak pernah berdiri sendiri, ia selalu terikat pada struktur kekuasaan dan legitimasi politik” (Damhuri, 2021).

Dalam sistem presidensial Indonesia, Menkeu adalah pembantu presiden, bukan pengambil keputusan tertinggi. Ia harus tunduk pada visi politik kepala negara, yang sering kali dibentuk oleh tuntutan elektoral dan tekanan populis. “Kebijakan ekonomi sering kali dikompromikan demi stabilitas politik dan pemenuhan janji kampanye” (Emerson et al., 2011). Maka, ketika publik berharap Menkeu menyelamatkan ekonomi, mereka lupa bahwa ia tak bisa melangkah tanpa restu istana.

Di sisi lain, DPR sebagai lembaga legislatif kerap menjadi medan tarik ulur kepentingan. Korupsi, lobi anggaran, dan transaksi politik membuat ruang gerak Menkeu semakin sempit. “Koordinasi lintas lembaga sering gagal karena konflik regulasi dan desain kelembagaan yang tidak sinkron” (Taufik Damhuri, 2021). Bahkan ketika Menkeu ingin menegakkan disiplin fiskal, ia harus berhadapan dengan parlemen yang lebih sibuk membagi kue APBN daripada menjaga keseimbangan neraca.

Koordinasi antar kementerian pun bukan perkara mudah. Setiap kementerian memiliki ego sektoral, prioritas politik, dan interpretasi kebijakan yang berbeda. Menkeu harus melapor kepada Menko, bernegosiasi dengan kementerian teknis, dan menyelaraskan arah dengan Bank Indonesia, OJK, dan LPS. “Desentralisasi birokrasi melahirkan silo kelembagaan yang menghambat integrasi kebijakan” (Bryson et al., 2006). Dalam kondisi seperti ini, Menkeu lebih sering menjadi juru runding daripada pengambil keputusan.

Tak kalah penting, Menkeu juga terikat pada kesepakatan internasional; dari IMF, Bank Dunia, hingga forum G20. Ia harus menjaga kredibilitas fiskal di mata dunia, meski di dalam negeri ia dikepung oleh tuntutan subsidi, bansos, dan proyek populis. “Stabilitas sistem keuangan nasional tak bisa dilepaskan dari tekanan global dan ekspektasi investor internasional” (RUU P2SK, 2022). Maka, ruang geraknya bukan hanya sempit, tapi juga diawasi dari segala arah.

Kesimpulannya, berharap terlalu banyak kepada seorang Menkeu adalah bentuk simplifikasi terhadap kompleksitas sistem pemerintahan. Ia bukan penyelamat tunggal, melainkan bagian dari orkestrasi kekuasaan yang penuh disonansi. “Efektivitas kebijakan ekonomi bergantung pada sinergi politik, bukan semata kompetensi teknokrat” (Ansell & Gash, 2008).

Dan di sinilah ruang refleksi itu terbuka. Bahwa dalam politik, harapan harus dibarengi dengan pemahaman. Kita tak bisa menuntut keajaiban dari satu sosok, ketika sistem itu sendiri cacat. Menkeu adalah cermin dari struktur yang lebih besar; ia bisa bersinar, tapi hanya jika cahaya datang dari atas, dari samping, dan dari bawah. Maka, jika kita mendambakan pemulihan ekonomi, jangan hanya menatap Menkeu semata. Tataplah keseluruhan sistem yang melingkupinya; dari arsitektur kekuasaan hingga denyut birokrasi. Pelajari arah angin, ubah haluan dengan bijak, dan sesuaikan layar dengan kesadaran penuh. Hanya dengan itu, kapal bernama Indonesia ini bisa bergerak dengan aman ke arah yang pasti, bukan sekadar mengapung dalam badai kepentingan dan gelombang janji.

Referensi:
• Damhuri, T. (2021). Factors That Influence Success or Failure of Coordination Practices in the Central Government of Indonesia. University of Canberra.
• Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, S. (2011). An Integrative Framework for Collaborative Governance. Journal of Public Administration Research and Theory.
• Bryson, J. M., Crosby, B. C., & Stone, M. M. (2006). The Design and Implementation of Cross-Sector Collaborations. Public Administration Review.
• Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research and Theory.
• RUU P2SK dan Koordinasi Otoritas Keuangan
___________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
___________________________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka konseptual, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID