Breaking News

KEBAIKAN TAK PERNAH MENJANJIKAN KEHIDUPAN TANPA UJIAN

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 30 September 2025.

Di jalan sunyi yang dilapisi dengan tebaran niat suci dan ketulusan perbuatan, manusia tetap bisa tersandung dan tertimpa permasalahan. Sejujur-jujurnya seseorang, sebaik-baiknya seseorang, sesaleh-salehnya seseorang, sesuci-sucinya seseorang, sedermawan-dermawannya seseorang; hidup tetap menyimpan badai. “Kebaikan bukanlah untuk menghapus ujian, namun memberikan kekuatan untuk tetap berdiri saat datangnya ujian” (Alatas, 2023). Seperti pohon yang paling rindang, justru ia yang paling sering diterpa angin. Dalam keheningan batin, kita menyadari bahwa hidup bukan tentang menghindari luka, tetapi tentang bagaimana tetap mencintai meski berdarah. Kebaikan bukanlah benteng dari kesulitan, melainkan lentera yang menyala di tengah gelapnya lorong takdir.

Secara psikologis, orang baik tetap mengalami tekanan mental dan tantangan emosional. “Individu dengan tingkat empati dan integritas tinggi justru lebih rentan mengalami kelelahan emosional karena beban moral dan ekspektasi sosial” (Rahmawati & Siregar, 2023). Mereka sering menjadi tempat bersandar, namun jarang diberi ruang untuk bersandar. Dalam dunia yang kadang tak adil, kebaikan bisa menjadi beban, bukan hanya berkah. Namun justru di sanalah letak kekuatan: mereka tetap memilih memberi, meski tak selalu menerima.

Dalam perspektif spiritual dan filsafat eksistensial, penderitaan bukanlah hukuman, melainkan bagian dari proses pemurnian jiwa. “Ujian hidup tidak selalu datang karena kesalahan, tetapi karena panggilan untuk naik kelas dalam kesadaran” (Harari, 2015). Bahkan para nabi, orang suci, dan tokoh-tokoh spiritual besar pun tidak luput dari penderitaan. Dalam tradisi sufistik, kesulitan adalah cara Tuhan memeluk hamba-Nya lebih erat. Maka, kebaikan bukanlah jalan bebas hambatan, tetapi jalan yang penuh makna.

Secara sosial, orang baik sering kali menjadi sasaran eksploitasi atau pengabaian. “Dalam sistem sosial yang kompetitif, individu yang jujur dan dermawan sering dianggap lemah dan kurang strategis” (Wilson, 2023). Mereka tidak bermain dalam logika untung-rugi, sehingga sering tersisih dalam arena yang mengutamakan manipulasi. Namun, justru karena itulah mereka menjadi penyeimbang dunia; menjadi penyuara hati di tengah hiruk-pikuk ambisi.

Dalam perspektif neuroscience, altruisme, yakni tindakan tanpa pamrih demi kebaikan orang lain, ternyata memberi manfaat nyata bagi otak dan kesejahteraan psikologis. “Tindakan altruistik mengaktifkan sistem reward otak, termasuk ventral striatum dan medial prefrontal cortex, yang menghasilkan rasa puas dan bahagia secara biologis” (Moll et al., 2006). Ketika seseorang memberi tanpa mengharap balasan, otaknya melepaskan dopamin dan oksitosin, dua zat kimia alami yang memperkuat rasa keterhubungan, empati, dan ketenangan. Bahkan dalam kondisi penuh tekanan, tindakan altruistik dapat menurunkan aktivitas amygdala, pusat ketakutan dan stress, sehingga memperkuat daya tahan mental dan memperbaiki suasana hati (Morelli et al., 2015). Maka, kebaikan bukan hanya menyehatkan jiwa, tetapi juga menyembuhkan saraf. Kebaikan tidak menghapus masalah dari hidup kita, melainkan menjadikan masalah itu tidak lagi menjadi beban yang menghancurkan; membuatnya tak dipermasalahkan, seperti angin yang membelai dedaunan, hadir namun tidak merusak kedamaian. Dalam memberi, kita tidak kehilangan, justru kita dipulihkan dan dibahagiakan.

Kesimpulannya, kebaikan tidak menjamin hidup tanpa masalah. “Menjadi baik bukan berarti hidup akan mudah, tetapi berarti kita memilih jalan yang bermakna meski sulit” (IlmuPsikoKita, 2025). Orang baik tetap diuji, bukan karena mereka kurang, tetapi karena mereka kuat. Ujian bukanlah hukuman dan penolakan, melainkan pengakuan bahwa kita sudah memiliki kemampuan dan kekuatan. Mampu tetap berdiri dalam terpaan badai, mampu memulihkan diri.

Dan di titik senyap ini, kita diajak untuk merenung: apakah kita berbuat baik demi imbalan, atau demi menjadi cahaya? Seperti lilin yang tetap menyala meski meleleh, orang baik tidak menunggu dunia berubah menjadi baik untuk memberi. Mereka tahu bahwa luka bukan akhir, dan bahwa kebaikan adalah keberanian untuk tetap lembut di dunia yang keras. Maka, jika hidup tetap memberi ujian meski kita baik, jujur, saleh, dan dermawan; itu bukan kegagalan. Itu adalah panggilan untuk tetap menjadi cahaya, meski dalam malam yang paling kelam.

Referensi:
• Alatas, S. H. (2023). “Kebaikan dan Ujian Hidup dalam Perspektif Etika Islam.” Jurnal Etika dan Refleksi, 10(2), 45–60.
• Harari, Y. N. (2015). Sapiens: A Brief History of Humankind. London: Vintage Books.
• IlmuPsikoKita. (2025). “Mengapa Orang Baik Tetap Mendapat Ujian?” 
• Moll, J., Krueger, F., Zahn, R., Pardini, M., Oliveira-Souza, R. D., & Grafman, J. (2006). Human fronto–mesolimbic networks guide decisions about charitable donation. PNAS, 103(42), 15623–15628. 
• Morelli, S. A., Rameson, L. T., & Lieberman, M. D. (2015). The neural components of empathy: Predicting daily prosocial behavior. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 9(1), 39–47. 
• Rahmawati, D., & Siregar, M. (2023). “Empati dan Beban Moral: Studi Psikologis pada Individu Prososial.” Jurnal Psikologi Humanistik, 15(2), 45–60.
• Wilson, A. (2023). The Vulnerability of Goodness in Competitive Systems. Purdue Global. 
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - JEJAKKASUSGROUP.CO.ID